Sejumlah kalangan menilai negatif keputusan pemerintah yang memperpanjang masa izin ekspor konsentrat tembaga hingga Mei 2024. Keputusan tersebut dinilai dapat memicu perlambatan hilirisasi mineral tembaga di dalam negeri.
Anggota Komisi VII DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto, mengatakan bahwa kebijakan larangan ekspor mineral mentah merupakan cara untuk meningkatkan nilai tambah seluruh material tambang sebelum dilakukan ekspor.
Menurut Mulyanto, pemberian izin perpanjangan ekspor bertentangan dengan Pasal 170 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Dia menilai pemerintah harus memberikan merevisi UU jika ingin memberikan masa tambahan ekspor konsentrat tembaga.
"PKS menolak perpanjangan izin ekspor tersebut. Kami komitmen mendorong Pemerintah melanjutkan program hilirisasi minerba agar penerimaan negara meningkat dan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik," kata Mulyanto lewat pesan singkat pada Selasa (2/5).
Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyampaikan bahwa pemberian relaksasi ekspor konsenterat itu akan menimbulkan diskriminasi terhadap pengusaha nikel dan bauksit yang selama ini sudah diwajibkan untuk menjalankan hilirisasi di smelter dalam negeri.
Menurut Fahmy, hal itu akan memancing para perusahan nikel dan bauksit untuk menuntut relaksasi ekspor serupa. Dia juga menyampaikan bahwa pemberian relaksasi ekspor konsentrat tembaga akan memicu ketidakpastian hukum yang menyebabkan investor smelter hengkang dari Indonesia.
"Kalau pemerintah memenuhi tuntutan tersebut, maka program hilirisasi akan porak poranda. Padahal tujuan hilirisasi adalah menaikkan nilai tambah dan mengembangkan ekosistem industri," ujar Fahmy.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, mengatakan bahwa pemerintah akan melanggar ketentuan UU Minerba jika mereka tetap memberikan izin eskpor konsentrat terhadap PT Freeport Indonesia dan PT Aman Mineral.
Kendati demikian, ujar Yusri, adanya pertimbangan sosial ekomomi dan musibah Pandemi Covid-19 dapat menjadi alasan masuk akal dari sifat pemerintah yang melunak soal larangan ekspor konsentra tembaga.
"Pemegang saham mayoritas Freeport adalah BUMN serta potensi penerimaan negara harus dijaga, tentu kebijakan relaksasi adalah pilihan yg sulit tetapi harus diambil," kata Yusri.
Yusri mendorong pemerintah agar lebih ketat dalam pelaksanaan hilirisasi mineral domestik. Dia meminta pemerintah memberikan standar tinggi bagi perusahaan bauksit yang ingin meminta relaksasi serupa.
Menurutnya, pemerintah harus segara menghentikan izin ekspor kepada perusahaan bauksit yang progres pembangunan smelternya masih dibawah 50%. "Apapun alasannya, mereka tidak memperlihatkan itikad baik dan malah terkesan mengakali kebijakan untuk mencari keuntungan sendiri," ujar Yusri.
Sebelumnya, Kementerian ESDM akan menyiapkan regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) sebagai landasan hukum agar perpanjangan izin ekspor tembaga PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara hingga Mei 2024 tidak melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Pada pasal 170A UU Minerba, ekspor produk mineral yang belum dimurnikan berlaku maksimal tiga tahun sejak undang-undang tersebut disahkan. Adapun perpanjangan ekspor hingga Mei 2024 juga menjadi tenggat waktu maksimal bagi Freeport dan Amman Mineral untuk menyelesaikan proyek smelter.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengatakan bahwa penerbitan Permen tersebut menjadi jalan tengah bagi kebijakan pelaksanaan larangan ekspor seluruh mineral mentah yang berlaku serempak pada Juni 2023 tanpa harus merevisi UU Minerba.
"Kami lihat jika larangan ekspor ini berlaku Juni 2023, maka Freeport terdampak. Sementara Freeport yang punya Indonesia dengan porsi 51%," kata Arifin di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (28/4).