Antam Dukung Pembentukan Indeks Harga Nikel Indonesia, Ini Alasannya

Katadata
Kegiatan penambangan bijih nikel PT Antam Tbk, Unit Bisnis Pertambangan Nikel Maluku Utara.
17/5/2023, 17.48 WIB

PT Aneka Tambang (Antam) menilai positif rencana pemerintah untuk menerbitkan indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index sebagai instrumen transaksi jual-beli nikel di pasar domestik.

Perusahaan menganggap adanya harga acuan nikel domestik bisa memunculkan konsekuensi aktual perihal keuntungan bisnis, keberlanjutan dari sisi aspek cadangan nikel hingga pengolaan lingkungan yang progresif.

Indeks harga ini ditujukan untuk mengurangi selisih harga yang muncul dari nilai aktualisasi penjualan nikel dengan harga patokan mineral (HPM) yang selama ini mengacu pada rerata harga nikel di pasar London Metal Exchange (LME).

Transaksi nikel di pasar LME merujuk pada jenis nikel kelas satu sebagai bahan baku kendaraan listrik. Sementara produksi dan transaksi nikel di Indonesia mayoritas berasal dari jenis kelas dua seperti nickel pig iron (NPI) feronikel hingga nikel matte yang menjadi bahan baku pembuatan stainless steel.

Kepala Divisi Sektetaris Perusahaan PT Antam, Syarif Faisal Alkadrie, mengatakan sebagai anggota holding industri pertambangan PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID), Antam akan mengikuti peraturan dari kebijakan pemerintah.

“Terkait dengan penyusunan indeks harga nikel, tentunya kami berharap akan terlaksana dengan adil dan transparan, baik bagi penambang ataupun pengelola smelter dan pabrik pemurnian,“ kata Faisal kepada Katadata.co.id melalui pesan singkat pada Rabu (17/5).

Fungsi indeks harga nikel Indonesia akan mirip dengan skema harga batu bara acuan atau HBA yang mengatur besaran kewajiban tarif royalti pelaku usaha batu bara di dalam negeri. "Kedepannya jika akan ada index harga nikel Indonesia, diharapkan transaksi bijih nikel bisa berjalan sesuai dengan mekanisme pasar," ujar Faisal.

Terkait dengan kinerja produksi dan penjualan komoditas nikel pada triwulan I 2023, Antam mencatatkan volume produksi feronikel sebesar 5.437 ton nikel dalam feronikel, dengan capaian volume penjualan produk feronikel mencapai 4.287 ton.

Sementara itu untuk produk bijih nikel, volume produksi bijih nikel konsolidasian Antam mencapai 3,41 juta wet metric ton (wmt), tumbuh 17% dibandingkan volume produksi triwulan I 2022 sebesar 2,92 juta wmt.

Pertumbuhan tingkat produksi bijih nikel ditujukan untuk mendukung pemenuhan volume penjualan bijih nikel yang tumbuh positif pada periode triwulan I tahun ini.

Sementara volume penjualan bijih nikel konsolidasian Antam mencapai 3,44 juta wmt, tumbuh 48% dibandingkan volume penjualan bijih nikel pada periode yang sama tahun lalu sebesar 2,33 juta wmt.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan bahwa indeks harga nikel Indonesia dapat menjadi instrumen yang mengatur transaksi nikel dalam negeri.

“Pemerintah sedang berfikir untuk punya tempat sendiri supaya bisa atur harga itu,” kata Luhut di Hotel Westin Jakarta pada Senin (9/5).

Adapun HPM saat ini masih berpatokan pada rerata harga nikel di bursa LME yang merujuk pada jenis nikel kelas satu sebagai bahan baku kendaraan listrik. “Kita juga pingin atur harga sendiri, masak LME yang mengatur harga nikel kita,” ujar Luhut.

Di sisi lain, pelaku usaha pertambangan nikel meminta pemerintah untuk segera merealisasikan pembentukan indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index sebagai instrumen transaksi jual-beli nikel di pasar domestik.

Mereka menilai, adanya indeks harga nikel Indonesia mampu memangkas selisih harga pembayaran kewajiban royalti yang lebih tinggi dari transaksi riil. Sejauh ini, tagihan royalti mengacu pada harga patokan mineral yang merujuk pada rerata harga nikel di pasar London Metal Exchange.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Resvani, menjelaskan harga pasaran nikel indeks LME lebih tinggi ketimbang harga nikel domestik yang berbasis feronikel. Menurutnya, harga jual dari feronikel antara penambang dan pelaku usaha smelter berada jauh di bawah LME.

Kondisi tersebut memicu penambang untuk membayar royalti yang lebih tinggi hingga 40% akibat selisih yang muncul dari harga jual riil feronikel dari LME yang digunakan sebagai acuan penentuan tarif royalti.

"Jika menggunakan LME sebagai patokan HPM maka akan terjadi over royalti. Intinya pengusaha terbebani royalti yang tinggi," kata Resvani kepada Katadata, Selasa (9/5).

Kondisi tersebut secara paralel akan mengerek harga nikel domestik yang dijual ke perusahaan smelter, utamanya bagi para pelaku usaha smelter yang tidak terintegrasi dengan tambang nikel. "Kalau ketinggian harganya maka si smelter akan beli nikel mahal, maka pasti keuntungannya menurun," ujar Resvani.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu