Perusahaan Migas Dominasi 10 Besar Fortune Global 500, Cek Daftarnya

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.
Produksi hulu migas berlangsung di Anjungan Central Plant dan Anjungan Bravo Flow Station Pertamina Hulu Energi (PHE) Offshore North West Java (ONWJ), lepas pantai utara Subang, Laut Jawa, Jawa Barat, Senin (3/4/2023).
Penulis: Lavinda
10/8/2023, 15.42 WIB

Organisasi media internasional Fortune menerbitkan daftar 500 perusahaan terbesar di dunia tahun 2023 dalam tajuk Fortune Global 500. Dalam daftar tersebut, peringkat 10 besar didominasi oleh perusahaan sektor energi, khususnya minyak dan gas (migas).

Peringkat pertama perusahaan terbesar di dunia ialah peritel asal Amerika Serikat, Walmart. Urutan kedua diikuti oleh produsen migas dan pertambangan, Saudi Aramco.

Selanjutnya, perusahaan utilitas berada di peringkat ketiga State Grid, diikuti perusahaan ritel dan layanan internet Amazon yang menempati peringkat keempat. Tiga perusahaan migas berurutan berada di peringkat kelima, keenam, dan ketujuh, yakni China National Petroleum, Sinopec Group, dan Exxon Mobil.

Perusahaan teknologi Apple beradai di urutan kedelapan, yang diikuti lagi-lagi oleh perusahaan migas, yakni Shell. Peringkat ke-10 bertengger perusahaan layanan kesehatan UnitedHealth Group.

Berikut daftar korporasi migas yang berada di peringkat 10 perusahaan terbesar dunia versi Fortune Global 500:

Saudi Aramco

Sektor usaha: Pertambangan dan produksi migas
Pendapatan: US$ 603,65 miliar
Laba: US$ 159,06 miliar

Peringkat raksasa minyak milik negara Arab Saudi ini meningkat empat poin dari daftar Fortune Global 500 tahun sebelumnya, karena pendapatan yang melonjak 51%. Perusahaan membukukan laba sekitar US$ 159 miliar pada tahun 2022, perolehan pendapatan terbesar di dunia. Ini juga menjadi tahun paling menguntungkan dalam sejarah perusahaan publik.

Seperti produsen bahan bakar fosil lain, Saudi Aramco mengalami peningkatan pendapatan karena minimnya pasokan minyak pada 2022, salah satunya karena perang Ukraina.

Harga minyak OPEC naik ke level tertinggi sekitar US$ 122 per barel pada Juni 2022, meski akhirnya turun menjadi sekitar US$ 80 pada Juli 2023.

Pada Oktober 2022, raksasa minyak itu meluncurkan dana keberlanjutan senilai US$ 1,5 miliar serta rencana untuk membangun fasilitas penangkap dan penyimpanan karbon.

Terlepas dari protes aktivis atas dampak lingkungan dari konsumsi migas, Aramco terus menginvestasikan sebagian besar keuntungannya dalam produksi bahan bakar fosil.

Per Desember 2022, ia menghasilkan 12 juta barel minyak mentah per hari. Perusahaan juga berencana meningkatkan kapasitas produksi menjadi 13 juta barel per hari pada 2027.

China National Petroleum

Sektor usaha: Penyulingan minyak bumi
Pendapatan: US$ 483,01 miliar
Laba: US$ 21,08 miliar

Perusahaan bahan bakar fosil milik negara Cina mencapai pertumbuhan moderat pada 2022 dibanding raksasa minyak internasional seperti Saudi Aramco atau Exxon Mobil. Namun, meskipun pendapatan hanya tumbuh 17% dibanding tahun 2021, keuntungan meningkat lebih dari dua kali lipat, melonjak menjadi hampir US$ 22 miliar di tengah pengetatan global dalam pasokan minyak.

Pada Agustus 2022, PetroChina, anak usaha China National Petroleum, akan menghapus pencatatan saham atau delisting dari Bursa Efek New York. Hal itu dilakukan di tengah ketegangan yang berlangsung antara AS dan Cina karena didesak memberi akses data keuangan perusahaan Cina.

Produsen migas terbesar di Cina ini memasang tenaga angin dan matahari berkapasitas 1.200 megawatt pada tahun 2022. Perusahaan dalam proses untuk menghasilkan 7% dari produksi energinya melalui bahan bakar non-fosil pada tahun 2025.

Sinopec Group

Sektor usaha: Penyulingan minyak bumi
Pendapatan: US$ 471,15 miliar
Laba: US$ 9,65 miliar

Perusahaan bahan bakar fosil milik negara terbesar kedua di Cina turun satu peringkat di Fortune Global 500. Perusahaan yang khusus menyuling minyak mentah menjadi berbagai produk konsumen, mencatat peningkatan pendapatan 17% dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan lebih kecil daripada perusahaan migas internasional lain, seperti Saudi Aramco dan Exxon Mobil.

Kilang bahan bakar fosil mengalami penurunan laba bersih hampir 7% dibanding tahun 2021, karena total volume penjualan produk minyak turun 6%, di tengah pandemi Covid-19 yang cukup parah di Negeri Tirai Bambu. 

Exxon Mobil

Sektor usaha: Penyulingan minyak bumi

Pendapatan: US$ 413,68 miliar

Laba: US$ 55,74 miliar

Perusahaan migas publik terbesar di AS ini mencatatkan kenaikan omzet 45% pada 2022, dan memperoleh laba signifikan. Hal ini didorong oleh permintaan gas yang tinggi akibat gangguan perdagangan antara Rusia dan Eropa karena perang di Ukraina.

Harga saham perusahaan mencapai puncak harian US$ 119 pada Februari 2023, rekor tertinggi sejak dua pembangkit tenaga minyak, Exxon dan Mobil, bergabung pada 1999.

Setelah investor aktivis berhasil memenangkan tiga kursi di dewan perusahaan minyak pada tahun 2021, raksasa energi itu akhirnya berkomitmen menyalurkan dana US$ 17 miliar untuk inisiatif rendah karbon dari tahun 2022 hingga 2027. Perusahaan terus berinvestasi dalam produksi bahan bakar fosil, meningkatkan produksi minyak mentahnya, gas alam cair, bitumen, dan minyak sintetis.

Shell

Sektor usaha: Penyulingan minyak bumi
Pendapatan: US$ 386,2 miliar
Laba: US$ 42,3 miliar

Perusahaan energi terbesar di Eropa naik tiga peringkat setelah melaporkan peningkatan pendapatan sebesar 41% pada 2022 dan laba bersih yang naik lebih dari dua kali lipat, di tengah tingginya harga minyak dan gas akibat perang Rusia-Ukraina.

Setelah Rusia memutuskan pipa gas alam Shell ke Eropa, raksasa energi yang berkantor pusat di London ini mengalami tahun yang luar biasa untuk gas alam cair, keadaan di mana gas terkondensasi dan lebih mudah untuk diangkut. Pendapatan gas alam cair meroket hampir 176% dibanding tahun 2021.

Shell menganggarkan belanja modal US$25 pada 2022. Salah satunya digunakan untuk investasi bisnis minyak sebesar US$ 12,5 miliar, dan US$ 4,3 miliar dialokasikan untuk proyek energi rendah karbon.