Grup Sinar Mas melalui entitas usaha, PT Daya Sukses Makmur Selaras, berencana membangun pabrik sel dan panel surya di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah. Pabrik ditargetkan beroperasi paling lambat pada kuartal ketiga tahun depan.
Managing Director Sinar Mas Ferry Salman menyebutkan pabrik sel tersebut akan memiliki kapasitas produksi awal yakni, satu gigawatt (GW) peak per tahun, senilai lebih dari US$ 100 juta atau setara dengan Rp 1,5 triliun.
Selanjutnya, kapasitas pabrik akan terus ditingkatkan hingga mencapai 3 GW peak per tahun dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun berikutnya.
Menurut Ferry, pembangunan pabrik sel dan panel surya ini bertujuan untuk mendorong upaya pemerintah dalam mencapai target nol bersih emisi atau Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Ferry mengatakan, Sinar Mas terus berinovasi dengan mengembangkan sayap bisnisnya ke sektor energi baru terbarukan (EBT). Dengan demikian, Sinar Mas tidak hanya mengembangkan bisnis di produksi turunan minyak sawit saja.
“Pada akhir Agustus 2023 ini, kami bermitra dengan PT PLN, PT Agro Surya Energi, dan Trina Solar telah meletakkan batu pertama untuk pabrik sel dan panel surya dan terintegrasi pertama di Indonesia,” ujarnya dalam acara diskusi Forum Dialog 85 Tahun Sinar Mas: Tren Inovasi dan Peluang Energi Terbarukan, Kamis (14/9).
Namun demikian, dia mengatakan, dalam menjalankan bisnis di sektor energi terbarukan tentu tidak mudah. Pasalnya, terdapat sejumlah tantangan untuk bisa mencapai target NZE di 2060, dan bauran energi terbarukan 23% di 2025.
Tantangan yang dimaksud antara lain, rantai produksi yang tidak efisien, peraturan pemerintah, ketersediaan dukungan pendanaan, dan skema insetif, penggunaan tenkologi, hingga sulitnya melakukan sosialiasi ke masyarakat umum.
Oleh karena itu, Ferry menuturkan bahwa diperlukan kerja sama yang kuat dan gotong royong dari semua stakeholder terkait, baik pemerintah, lembaga swadaya, pelaku usaha, akademis, hingga masyarakat. Dengan begitu, diharapkn dapat terciptanya ekonomi hijau di Indonesia.
Kinerja Transisi Energi Indonesia Masih Tertinggal
Meski pemerintah terus menggenjot transisi energi dari kotor menuju hijau, tetapi kinerja transisi energi Indonesia nyatanya masih kalah dibanding Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Hal ini tercatat dalam laporan World Economic Forum (WEF) yang bertajuk Fostering Effective Energy Transition 2023.
WEF menilai kinerja transisi energi di 120 negara berdasarkan beberapa indikator. Beberapa di antaranya ialah tingkat penggunaan energi bersih, pengurangan emisi karbon, kesiapan infrastruktur, sampai kerangka regulasi dan kemampuan finansial setiap negara untuk mendorong transisi energi.
Hasil penilaian kemudian dirumuskan menjadi Energy Transition Index (ETI) dengan sistem skor 0-100. Skor ETI 0 menunjukkan kinerja yang sangat buruk, sedangkan ETI 100 sangat baik.
Dengan metode tersebut, pada 2023 Malaysia memperoleh skor ETI 61,7, paling tinggi di Asia Tenggara. Kemudian di bawahnya ada Vietnam, Thailand, dan Indonesia.
Malaysia mendapat skor cukup tinggi karena dinilai memiliki ketahanan pasokan energi yang kuat, serta bauran energi yang sangat beragam.
Kemudian Vietnam mendapat nilai cukup baik karena memiliki investasi besar untuk energi terbarukan, yakni sekitar 1% dari produk domestik bruto negara-negara tersebut.
Sementara itu, skor Thailand hanya terpaut tipis dari Indonesia. Namun, mereka mendapat nilai lebih karena kesiapan regulasi, investasi, atau infrastruktur transisi energi yang lebih baik.
Menurut WEF, kinerja transisi energi Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam bidang regulasi dan investasi.
"Dengan tidak adanya subsidi langsung untuk energi terbarukan (di Indonesia), mekanisme tarif saat ini tidak memungkinkan energi terbarukan untuk bersaing secara adil dengan infrastruktur berbasis bahan bakar fosil," kata WEF dalam laporannya.