Kartel minyak dunia, OPEC, menyatakan dalam laporan World Oil Outlook terbarunya bahwa sektor migas dunia membutuhkan investasi US$ 14 triliun atau sekitar Rp 220 kuadriliun hingga 2045 untuk menjaga kestabilan pasar dan keamanan energi global.
Artinya investasi tahunan yang dibutuhkan sekitar US$ 610 miliar atau Rp 9,6 kuadriliun, dengan sebagian besar dari investasi tersebut dialokasikan untuk sektor hulu migas.
Total investasi yang dibutuhkan untuk sektor hulu migas dunia hingga 2045 sekitar US$ 11,1 triliun (sekitar Rp 174,46 kuadriliun), atau US$ 480 miliar (sekitar Rp 7,54 kuadriliun) per tahun. Sedangkan untuk sektor hilir dibutuhkan US$ 2,9 triliun (sekitar Rp 45,58 kuadriliun).
“Jika investasi ini tidak tercapai, maka akan ada tantangan dan risiko yang besar terhadap stabilitas pasar dan keamanan energi global,” kata OPEC dalam laporannya seperti dikutip dari Oilprice.com, Selasa (10/10).
Dalam laporan tersebut OPEC juga menaikkan prospek permintaan jangka panjang ke level 116 juta barel per hari (bph) pada 2045, naik sekitar 6 juta bph dibandingkan proyeksi pada laporan World Oil Outlook 2022.
“Memastikan bahwa investasi ini dilakukan dan dipertahankan merupakan tantangan utama dan sangat penting bagi stabilitas pasar minyak dan keamanan pasokan,” kata OPEC dalam perkiraan tahun 2023.
Tahun ini, investasi hulu diperkirakan meningkat sebesar 13% menjadi US$ 360 miliar (sekitar Rp 5,66 kuadriliun), namun OPEC menyebut level tersebut hanya mengembalikan investasi ke tingkat sebelum pandemi Covid-19.
“Rintangan terhadap investasi hulu, atau bahkan seruan untuk membatasi investasi, tidak membantu dalam hal ini, dan meningkatkan risiko kekurangan pasokan dan volatilitas pasar,” kartel tersebut memperingatkan.
Sekretaris Jenderal OPEC Haitham Al Ghais berkomentar dalam kata pengantar laporan tersebut, “Seruan untuk menghentikan investasi pada proyek minyak baru adalah salah arah dan dapat menyebabkan kekacauan energi dan ekonomi.”
“Sejarah penuh dengan banyak contoh gejolak yang seharusnya menjadi peringatan atas apa yang terjadi ketika para pembuat kebijakan gagal mengenali kompleksitas energi,” kata Al Ghais.