Perusahaan batu bara terbesar kedua di dunia, Glencore, dilaporkan akan segera keluar dari bisnis mineral hitam. Glencore disebut akan bertransisi menjadi perusahaan mineral logam dan men-spin off bisnis batu baranya.
Transformasi ini telah dimulai dengan Glencore mengakuisisi 77% saham bisnis batu bara metalurgi milik Teck Resources, Elk Valley Resources, dalam kesepakatan bernilai US$ 6,93 miliar atau sekitar Rp 108,5 triliun. Setelah itu Glencore akan menggabungkan Elk Valley dengan unit bisnis batu baranya.
The Wall Street Journal (WSJ) melaporkan bahwa penggabungan dua entitas bisnis batu bara tersebut merupakan bagian dari strategi Glencore untuk meninggalkan bisnis batu bara dengan keuntungan besar. Sebab ketika perusahaan itu di-spin off dan terdaftar di New York Stock Exchange, nilainya diprediksi mencapai US$ 22-35 miliar.
Ke depannya, Glencore berencana untuk fokus pada logam yang diharapkan dapat mendorong transisi energi ramah lingkungan. Revolusi energi hijau memicu demam emas modern untuk mineral dan logam tanah jarang yang penting bagi infrastruktur yang dibutuhkan untuk panel surya, baterai kendaraan listrik, turbin angin, dan sebagainya.
Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan penambahan kapasitas energi terbarukan global akan tumbuh sebesar 107 gigawatt (GW) hingga mencapai lebih dari 440 GW pada tahun 2023, peningkatan absolut terbesar yang pernah ada.
Pada saat yang sama, penjualan kendaraan listrik diperkirakan akan meningkat sebesar 35% pada akhir tahun ini hingga mencapai 14 juta unit, suatu peningkatan yang oleh IEA disebut “eksplosif.”
Menguasai pasar mineral tanah jarang yang sebagian besar belum dimanfaatkan menghadirkan peluang ekonomi yang besar, dan negara-negara di seluruh dunia saat ini berlomba untuk menopang rantai pasokan dan memperoleh cadangan secepat mungkin.
Permintaan elemen seperti kobalt dan litium sudah melonjak, dan Glencore ingin menjadi pemasok utamanya. “Kami memiliki beberapa logam dengan masa depan terbaik di dunia,” kata CEO Glencore Gary Nagle, dikutip dari WSJ pada Rabu (13/12). “Kami akan menjadi perusahaan logam transisi acuan dunia.”
Saat ini Glencore juga telah memiliki aset di komoditas nikel, tembaga dengan produksi terbesar keempat di dunia, kobalt, hingga seng. Lalu pada awal tahun ini perusahaan berbasis di juga berinvestasi pada pengolahan alumina rendah karbon dan bisnis daur ulang mineral logam.
Banyak analis memperkirakan fokus Nagle pada pertumbuhan bisnis logam dan daur ulang, sambil memproduksi batu bara, akan menghasilkan lebih banyak kesepakatan di masa depan.
“Glencore adalah yang paling agresif [dalam mengejar kesepakatan], di antara para penambang besar,” kata Chris LaFemina, analis pertambangan di Jefferies. “Mereka memiliki neraca yang bersih, yang memberi mereka peluang. Sebelumnya mereka dibatasi oleh neraca, dan sekarang kendala itu sudah tidak ada lagi.”
Spin-off bisnis batu bara Glencore juga akan menjadi bagian dari strategi untuk mencapai target iklim. Perusahaan berbasis di Swiss ini tahun lalu menghasilkan 380 juta ton emisi karbon dioksida (CO2) dari aktivitas operasional tambang, serta dari penjualan batu bara dan produk lainnya.
Emisi yang dihasilkan Glencore tak jauh di bawah emisi yang dihasilkan Inggris sebesar 417 juta ton, dan lebih besar dari emisi yang dihasilkan Spanyol.