Pakar: Konflik Israel-Iran Berpotensi Tekan Rupiah dan Kerek Harga BBM
Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai jika harga minyak mentah dunia terus melambung hingga US$ 100 per barel, akibat konflik Israel - Iran, maka akan berdampak bagi melemahnya nilai tukar rupiah.
“Ini akan semakin melemahkan rupiah, bahkan bisa mencapai Rp 17.000 per dolar. Bisa seperti itu karena Indonesia sudah tergolong net importer minyak,” kata Fahmy saat dihubungi Katadata.co.id pada Selasa (16/7).
Fahmy menyampaikan dengan status net importer minyak ini, artinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maka harus dilakukan impor. “Nah, impor ini kan membayarnya menggunakan dolar. Maka akan menguras devisa Indonesia dan itu yang akan mempengaruhi kurs rupiah akan semakin lemah tadi,” ujarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan apabila pelemahan rupiah dan meningkatnya harga minyak juga dibarengi oleh peningkatan inflasi, maka akan menjadi beban bagi Indonesia. Sebab ketiga hal diatas menurut Fahmy termasuk dalam variabel utama penentuan harga minyak Indonesia atau ICP.
“Nah, kalau ketiga variabel ini semuanya naik, maka mau tidak mau harga minyak atau BBM yang dijual di Indonesia ini jadi mahal,” ucapnya.
Melalui proyeksi tersebut, menurut Fahmy pilihan yang tersedia untuk menghadapi keadaan ini adalah pemerintah menaikkan harga BBM untuk mengurangi beban subsidi energi.
“Kalau hargan minyak dunia di atas US$ 100 kemudian nilai rupiah mencapai Rp17.000 per dolar serta inflasinya semakin meningkat, maka rekomendasi saya, pemerintah harus menaikkan harga BBM subsidi maupun non subsidi,” kata dia.
Namun Fahmy menekankan kembali bahwa kebijakan ini tergantung pada pemerintah. Seperti yang diketahui bahwa Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menahan atau menunda kenaikan harga BBM dan listrik hingga Juni mendatang.
“Tapi kalau Presiden Jokowi bertahan tidak akan menaikkan harga BBM subsidi, ya itu bisa dilakukan tetapi beban APBN nya akan semakin membengkak. Nah sampai kapan kita bisa bertahan?” kata Fahmy.
Di kesempatan lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan harga minyak global berpotensi menguat imbas konflik bersenjata Israel-Iran. Dampaknya, sulit untuk menahan potensi pembengkakan subsidi energi imbas konflik bersenjata di Iran dan Israel.
Arifin mengatakan hitung-hitungan kenaikan harga minyak dunia tiap US$ 1 per barel dapat menambah besaran subsidi dan kompensasi energi domestik hingga Rp 3,5- 4 triliun. Selain fluktuasi harga minyak, pelemahan laju nilai tukar atau kurs rupiah terhadap dolar AS juga berimbas pada melonjaknya anggaran subsidi dan kompensasi energi.
Untuk kenaikan kurs rupiah Rp 100 per dolar AS akan menyebabkan kenaikan subsidi energi Rp 1,19 triliun dan kompensasi energi Rp 3,89 triliun. "Makanya kita harus hemat energi, efisiensi energi ini harus dikerjakan," kata Arifin di Istana Merdeka Jakarta pada Selasa (16/4).
Arifin menjelaskan bahwa faktor penggelembungan nilai subsidi berasal dari faktor eksternal yang sulit dikendalikan oleh pemerintah. Adapun dua faktor eksternal itu yakni harga minyak dan nilai tukar mata uang alias kurs.
"Ini susah, karena faktor-faktornya sulit kita kendalikan. Jadi kita harus melakukan efisiensi energi dan menggunakan sumber energi alternatif dari dalam negeri," kata Arifin.