Laporan dari organisasi Rainforest Action Network (RAN) menyebutkan bahwa sektor perbankan global telah mengucurkan sekitar US$ 6,8 triliun atau lebih dari Rp 100.000 triliun untuk membiayai sektor energi fosil sejak perjanjian Paris 2015.

Di tengah meningkatkanya tekanan untuk menghentikan pendanaan perusahaan minyak dan gas demi mendukung upaya dekarbonisasi internasional, banyak bank besar terus menyediakan pembiayaan untuk energi fosil.

Laporan terbaru dari RAN mengungkapkan bahwa pada tahun-tahun setelah disepakatinya Perjanjian Paris 2015, 60 bank swasta terbesar dunia menyediakan US$ 6,8 triliun sebagai pembiayaan untuk proyek bahan bakar fosil.

“Selama delapan tahun terakhir, sekitar US$ 3,3 triliun digunakan untuk ekspansi bahan bakar fosil. Bank-bank ini mendukung lebih dari 4.200 perusahaan energi fosil dengan pinjaman dan transaksi sekuritas atau penjaminan emisi,” tulis laporan RAN dikutip dari OilPrice.com, Senin (15/7).

Pada 2023, setelah banyak bank besar berjanji untuk mengurangi atau mengakhiri pendanaan untuk perusahaan minyak dan gas sebagai bagian dari Net Zero Banking Alliance, pembiayaan untuk perusahaan bahan bakar fosil mencapai US$ 705 miliar (sekitar Rp 11.400 triliun), dengan US$ 347 miliar (Rp 5.600 triliun) digunakan untuk ekspansi.

Berikut bank-bank dengan pembiayaan energi fosil terbesar menurut laporan RAN:

  1. Citibank: US$ 204 miliar sejak 2016;
  2. JPMorgan Chase: US$ 40,8 miliar;
  3. Mizuho: US$ 37 miliar;
  4. Barclays: US$ 24,2 miliar;
  5. Santander: US$ 14,5 miliar pada 2023 saja;
  6. Deutsche Bank: US$ 13,4 miliar;
  7. DZ Bank: US$ 2,5 miliar.

Manajer Riset dan Kebijakan di RAN dan rekan penulis laporan April Merleaux menyatakan, “Kekhawatiran terbesar Wall Street adalah laba, kekhawatiran utama kami adalah iklim dan hak asasi manusia.”

“Sementara bank-bank yang mendapat untung dari kekacauan iklim menciptakan kisah-kisah greenwashing baru setiap tahun, data kami menunjukkan berapa banyak uang yang sebenarnya mereka tuangkan ke bahan bakar fosil,” kata Merleaux.

Merleaux menambahkan bahwa metodologi baru yang mereka pakai dalam laporannya mengungkap detail yang sebelumnya tidak diketahui tentang pembiayaan bank untuk bahan bakar fosil dan memberi aktivis alat baru untuk menghadapi bank.

“Data kami menunjukkan bahwa pembiayaan bank untuk bahan bakar fosil tidak menurun cukup cepat. Pada 2023, hampir US$ $350 miliar telah mengalir ke perusahaan bahan bakar fosil, yang tidak sesuai dengan komitmen iklim yang sebenarnya,” kata dia.

Kritikus laporan tersebut mengatakan hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan ke mana dana tersebut mengalir di sektor bahan bakar fosil, dengan beberapa bank menanggapi bahwa pembiayaan mereka sebagian besar ditujukan untuk upaya transisi hijau oleh perusahaan energi.

Tidak jelas apakah sebagian dari dana ekspansi tersebut digunakan untuk mendukung proyek energi hijau baru atau aktivitas bahan bakar fosil. Lembaga perbankan AS ditemukan sebagai kontributor terbesar bagi sektor bahan bakar fosil, yang menyediakan 30% pembiayaan pada 2023.

JPMorgan menanggapi laporan tersebut dengan mengatakan bahwa mereka adalah salah satu penyandang dana terbesar di dunia bagi perusahaan energi tradisional dan bersih.

Mereka menyatakan bahwa akan mengungkapkan proporsi pembiayaan yang berkontribusi pada energi rendah karbon dibandingkan dengan pembiayaan energi bahan bakar fosil, menyusul permintaan dari pengawas keuangan Kota New York atas nama dana pensiun yang dikelolanya.

“Kami yakin data kami mencerminkan aktivitas kami secara lebih komprehensif dan akurat daripada perkiraan oleh pihak ketiga,” tulis pernyataan JPMorgan.

Sementara itu, Bank of America, penyandang dana bahan bakar fosil terbesar ketiga di dunia, menurut laporan tersebut, mengatakan bahwa mereka adalah pemimpin pasar dalam hal pendanaan transisi energi.

“Kami bekerja sama dengan klien di seluruh spektrum energi untuk membantu mereka mencapai tujuan transisi energi,” kata BoA.

Sedangkan Citibank menyebut bahwa pada 2020 telah menyalurkan US$ 441 miliar, dari target US$ 1 triliun, untuk mencapai tujuan keuangan berkelanjutan yang menunjukkan bahwa sebagian besar pembiayaan energinya ditujukan untuk transisi.

Pada bulan Juni, bos bank Barclays, CS Venkatakrishnan, mengatakan bahwa menurutnya tidak realistis untuk meminta bank menghentikan pendanaan perusahaan bahan bakar fosil ini sama sekali.

Ia mengatakan bahwa pemberi pinjaman tidak dapat menghentikan secara tiba-tiba dan menekankan pentingnya transisi dari bahan bakar fosil yang berpolusi ke alternatif yang lebih bersih, seperti gas.

“Barclays sangat menjauh dari batu bara dan minyak. Tetapi bahan bakar fosil akan tetap ada untuk beberapa waktu dan kami sangat menjauh dari batu bara ke minyak, minyak ke gas, gas ke energi bersih dan kenyataannya adalah bahwa untuk beberapa waktu bahan bakar fosil akan tetap ada, terutama gas alam,” ujarnya.