Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 96 Tahun 2024 tentang cadangan penyangga energi (CPE) yang harus dipenuhi sebelum 2035.
Dalam regulasi tersebut ditetapkan bahwa CPE terdiri atas tiga jenis, yakni bahan bakar minyak jenis bensin sejumlah 9,64 juta barel, LPG sebanyak 525,78 ribu metrik ton, dan minyak bumi sebesar 10,17 juta barel
Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menyebut angka CPE yang ditetapkan ini sangat besar. Namun disaat yang bersamaan cadangan migas Indonesia semakin menurun sehingga dia pesimis bahwa CPE dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Namun, dia masih optimis dapat tercapai apabila Presiden Terpilih Prabowo Subianto memiliki komitmen penuh terkait CPE.
“Kalau Prabowo dan menteri-menterinya tetap komitmen untuk memenuhi CPE ini melalui pengembangan energi terbarukan saya yakin bahkan sebelum 2035 sudah bisa dicapai,” kata Fahmy saat dihubungi Katadata.co.id pada Rabu (4/9).
Seperti yang diketahui, pemenuhan kebutuhan BBM, LPG, dan minyak bumi Indonesia saat ini didominasi impor.
Menurut Fahmy Indonesia masih berpeluang dapat memenuhi CPE dari produksi dalam negeri melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang tersedia dalam jumlah banyak di Indonesia.
“Misalnya untuk LPG, kalau kita bisa melakukan gasifikasi dari batu bara yang cadangannya masih cukup besar maka tidak perlu lagi tergantung pada impor untuk LPG. Juga dengan pengembangan dari biogas untuk Solar dan BBM itu juga potensinya sangat besar,” ujarnya.
Namun dia menyebut, pengembangan EBT di atas saat ini progresnya mandek. Sehingga menurutnya pemerintahan berikutnya perlu mendorong dan memfokuskan pengembangannya.
“Kalau itu jalan dengan baik, saya yakin CPE sebetulnya bisa dipenuhi dari sumber-sumber yang ada di dalam negeri, tidak perlu impor lagi. Tapi kalau seperti pemerintahan Jokowi selama 10 tahun yang komitmennya sangat rendah terhadap pengembangan EBT saya pesimis,” ucapnya.
Fahmy menyebut, masalah lain yang harus dihadapi Indonesia tidak hanya dari mandeknya pengembangan EBT untuk kebutuhan energi namun juga ketiadaan teknologi yang dimiliki Indonesia.
Meski pemenuhan targetnya berat, namun menurutnya dengan penetapan CPE ini membawa kabar baik. “Paling tidak bisa menjadi dasar untuk memenuhi ketersediaan energi yang dibutuhkan dan mencegah krisis energi terjadi di Indonesia,” kata dia.
Senada dengan Fahmy, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyambut baik penetapan CPE. Menurutnya, hal ini menandakan bahwa pemerintah sudah memikirkan lima langkah lebih maju dibandingkan sebelumnya.
“Energi ini menjadi sangat vital dan penting bagi kehidupan kita, terutama untuk struktur ekonomi Indonesia yang sudah berubah. Awalnya berbasis ekstraktif sekarang dominan 50-60% di sektor manufaktur dan jasa,” kata Komaidi kepada Katadata.co.id.
Melihat kondisi ini, menurut Komaidi menjadi hal yang logis dan keharusan bagi seluruh pihak untuk memikirkan bagaimana pasokan energi ini bisa terus ada dan terjangkau dalam aspek keekonomian yang wajar.
Terkait kemampuan Indonesia untuk memenuhi target CPE sebelum 2035 menurutnya relatif. Menurutnya hal ini tergantung dari komitmen pemerintah serta ruang fiskal yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
“Jadi tergantung kalau multiyears program bisa agak lama, tapi kalau ada komitmen untuk di depan, misalnya penghematan dari subsidi energi dialokasikan ke sana bisa juga. Jadi artinya kalau waktu sih fleksibel, bisa jadi cepat, bisa juga lama tergantung keputusan dari pemerintah nanti, kira-kira akan dibuat seperti apa,” ujarnya.
Komaidi menyampaikan penetapan CPE atau yang biasa disebut Strategic Petroleum Reserve (SPR) memang sudah menjadi hal lazim bagi negara-negara maju, seperti di benua Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Cina, hingga Singapura.
“Jadi cadangan ini milik negara yang anggarannya juga dari negara, Indonesia saat ini masih kosong. Jadi kalau ditanya ketahanan pasokan energi atau BBM kita berapa, sebetulnya kalau dari konsep negara kita nggak punya, tetapi kalau badan usaha kita punya Pertamina yang cadangannya antara 20-25 hari operasi,” ucapnya.
Meskipun menurutnya cadangan Pertamina ini sebetulnya dalam konteks negara seharusnya tidak menjadi tugas badan usaha milik negara atau BUMN melainkan menjadi tugas negara.
“Terlepas nanti pelaksanaannya oleh BUMN itu hal lain tetapi kan itu ditugaskan, tapi yang membiayai adalah negara,” kata dia.
Dalam Perpres Nomor 96 Tahun 2024 pasal 2 disebutkan bahwa CPE dibuat dengan tujuan untuk menjamin ketahanan energi nasional, mengatasi krisis energi dan darurat energi, serta untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan.
Jenis CPE ini ditetapkan dengan mempertimbangkan lima hal, yakni peran strategis dalam konsumsi nasional, sumber perolehan yang berasal dari impor, sebagai modal pembangunan nasional, neraca energi nasional; dan/atau, sumber energi yang siap ditransformasikan atau dipergunakan.
Selain lima hal di atas, jenis CPE juga ditetapkan dengan memperhatikan aspek geopolitik, kewilayahan, dan waktu dalam rangka mewujudkan ketahanan energi guna mendukung pertahanan dan keamanan negara.
Aturan ini menyebut, penggunaan CPE dilakukan apabila terjadi krisis energi atau darurat energi. Penggunaan ini akan diputuskan melalui dua cara. Pertama dalam sidang Anggota untuk Krisis Energi dan/atau Darurat Energi yang bersifat teknis operasional.
Kedua, dalam Sidang Paripurna untuk Krisis Energi dan/atau Darurat Energi yang bersifat nasional.
“Pendanaan CPE dapat berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, sumber pendanaan lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” tulis regulasi tersebut.