Senandung dan Teriakan Bergema di Konferensi Iklim Dunia: Negara Maju, Bayar!
Baku, Azerbaijan – Ratusan perwakilan organisasi sipil dan komunitas dari berbagai belahan dunia membuat barisan panjang di depan ruang pertemuan utama konferensi iklim COP29 di Baku Stadium pada Sabtu siang, 16 November. Spanduk-spanduk dibentangkan dan digelar, poster-poster diangkat, bendera-bendera dikibarkan. Tak ada orasi, hanya senandung yang terdengar.
Aksi protes juga dilaporkan terjadi di beberapa lokasi lain di Baku Olympic Stadium. Ini bisa dibilang aksi paling masif di Baku Olympic Stadium sepanjang sepekan berlangsungnya COP29 yang dimulai pada Senin, 11 November lalu. Mobilisasi untuk aksi serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Ini sebagai bentuk desakan untuk para delegator negara yang tengah bernegosiasi di COP29.
“Kami di sini dari seluruh dunia, mewakili ribuan organisasi sipil dan komunitas, kami meminta pengakhiran bahan bakar fosil, kami meminta pendanaan bernilai triliun bukan miliar dolar untuk negara berkembang menjalankan transisi energinya. Kami akan terus menyuarakan hal ini hingga ada keputusan yang signifikan,” ujar Direktur Strategi Catherine Climate Action Network Australia Kathryn McCallum kepada Katadata, Sabtu, 16 November, di sela-sela aksi.
Negara-negara maju jadi bulan-bulanan organisasi sipil, komunitas, delegator negara berkembang, hingga pejabat PBB dan bank-bank pembangunan di COP29. Sebab, meskipun berkontribusi paling besar terhadap produksi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global, negara-negara “Global North” tersebut belum juga menyepakati pendanaan iklim yang signifikan dan nyata. Pendanaan ini dibutuhkan untuk negara-negara berkembang menjalankan aksi mitigasi dan adaptasi iklim, serta mendanai kerusakan dan kerugian akibat perubahan iklim.
Selama ini, negara-negara maju terikat dengan target yang disepakatinya pada 2015 yaitu dana iklim minimal US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.500 triliun, namun realisasi nyatanya diragukan banyak pihak. Target ini dikenal dengan New Collective Quantified Goal on Climate Finance (NCQG) dan berlaku hingga 2025. Target ini perlu diperbaharui dengan angka yang lebih ambisius untuk mendorong aksi iklim yang lebih agresif. Ini guna mencegah “kiamat” iklim akibat pemanasan global yang tak terkendali.
Avinash Persaud, Penasehat Khusus Bidang Perubahan Iklim dari Presiden Inter-American Development Bank, mengatakan negara berkembang membutuhkan US$ 2,4 triliun per tahun per tahun untuk membiayai aksi iklimnya. Menurut dia, setidaknya Rp 1 triliun harus datang dari dunia internasional yaitu negara maju hingga lembaga keuangan multilateral dalam bentuk hibah dan pinjaman berbunga rendah. “Jika kita tidak mendapatkan NCQG yang ambisius dari COP ini. Kita tidak akan dapat melaksanakan aksi iklim yang agresif,” ujarnya, dalam Konferensi Pers, di Baku Olympic Stadium, Sabtu, 16 November.
Azerbaijan sebagai pemegang presidensi COP29 sempat menginisiasi pendanaan iklim baru yaitu dari negara dan perusahaan produsen migas dan batubara kepada negara berkembang. Namun prospeknya juga kelabu. Terdapat nuansa kesepakatan pendanaan iklim “dicukupkan” lewat pelaksanaan pasar karbon global. Ini seiring disepakatinya satu demi satu paragraf dalam Artikel 6 Kesepakatan Paris atau Paris Agreement yang mengatur soal itu.
“Negara Maju, Anda Berutang US$ 5 Triliun!”
Dua hari sebelumnya, sekitar 50-an orang dari beberapa organisasi sipil dan komunitas melakukan aksi untuk mendesak hal yang sama, namun dengan teriakan lantang. Teriakan mereka bergema di koridor menuju ruang-ruang yang mempertemukan para negosiator COP29, di Baku Olympic Stadium.
“Global North, Global North, you owe us US$ 5 trillion! Pay up, pay up, pay up for climate finance!”. Jika diterjemahkan, teriakan itu kira-kira berbunyi seperti ini: “Negara maju, negara maju, Anda berhutang kepada kami US$ 5 Triliun! Bayar, bayar, bayar untuk pendanaan iklim!”
Spanduk sepanjang lima meter digelar di lantai berisi daftar panjang tagihan untuk negara maju. Tagihan itu mendasari tuntutan pendanaan dalam bentuk hibah antara US$ 1-5 triliun atau sekitar Rp 15.800-79.400 triliun per tahun.
Komitmen saat ini yang sebesar US$ 100 miliar, dengan hanya US$ 700 juta dana untuk kerusakan dan kerugian akibat perubahan iklim jadi bahan ejekan dan kritikan tajam. Kecilnya dana ini berarti orang-orang miskin harus membayar kerusakan iklim yang disebabkan negara kaya dan konglomerat, dengan hilangnya rumah, mata pencaharian, dan nyawa.
Mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, uang US$ 700 juta untuk kerusakan dan kerugian akibat perubahan iklim itu setara bayaran lima pemain bola top dunia setahun. “Itu juga bahkan tidak sampai seperempatnya dari kerusakan akibat badai Yagi di Vietnam, September lalu. Kita harus serius tentang jumlah pendanaan yang dibutuhkan,” ujarnya, dalam pertemuan tingkat tinggi COP29 pada Selasa, 12 November.
Berbarengan dengan COP29, bencana iklim tercatat melanda banyak negara. Kolombia dan negara-negara di Kepulauan Karibia mengalami banjir parah. Pemerintah Kolombia bahkan menetapkan negara berstatus bencana nasional banjir yang menunjukkan keadaan darurat.
Selain desakan untuk negara maju memberikan pendanaan iklim, terdapat tiga pesan lainnya yang digaungkan dalam aksi serentak yaitu “Ramp Up Fossil Fuel Phaseout and Just Transition” yaitu desakan untuk segera meninggalkan energi fosil dan melaksanakan transisi ke energi bersih. Kemudian, “Stand Up Against War and Genocide” yaitu ajakan bersikap untuk melawan perang dan genosida.
Selain itu, “Rise Up for Climate Justice” yaitu ajakan untuk mendorong solusi iklim yang bukan hanya fokus pada pengurangan emisi dan menjaga alam, tapi aspek hak asasi manusia yaitu keberlanjutan hidup masyarakat terdampak.
Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: