Impor bahan baku industri turun sepanjang tahun ini. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai hal tersebut sebagai pertanda melambatnya perekonomian.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor bahan baku dan penolong secara kumulatif Januari hingga Maret 2020 mencapai US$ 29,6 miliar, turun 2,82% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Meskipun impor tersebut pada Maret mencapai US$ 10,281 miliar, naik tipis 1,72% secara tahunan (year on year/yoy).
"Jika pelaku usaha industri mengalami perlambatan maka ini memang pertanda perlambatan ekonomi," kata dia kepada Katadata, Kamis (16/4).
Sebagaimana diketahui, industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB) Indonesia dengan andil sekitar 20% terhadap total PDB.
(Baca: Efek Pandemi Covid-19, Industri Plastik Diperkirakan Hanya Tumbuh 4%)
Sementara itu, impor barang konsumsi pada Maret lalu mencapai US$ 1,26 miliar, naik 10,6% dibandingkan Maret 2019. Secara keseluruhan, impor barang konsumsi pada Januari-Maret 2020 mencapai US$ 3,61 miliar atau naik 7,11% yoy.
Yusuf mengatakan bahwa turunnya impor bahan baku atau penolong mencerminkan industri dalam negeri masih menahan diri untuk sementara waktu. Sebab, para industri memutuskan untuk tidak mengimpor bahan baku selama periode tersebut.
Hal ini juga dilihat dari Purchasing Manager's Index (PMI) Maret yang berada di kisaran 45,3, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya 51,9. Nilai PMI di bawah 50 menunjukkan adanya penurunan aktivitas industri. Ini artinya pelaku usaha menahan diri untuk melakukan ekspansi.
(Baca: Sri Mulyani Akan Guyur Insentif Pajak Corona untuk 11 Sektor Industri)
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani memperkirakan impor barang modal, bahan baku dan bahan penolong akan turun drastis akibat pandemi corona yang mengganggu rantai pasok global.
"Ada kombinasi masalah hambatan supply chain global seiring dengan adanya wabah dan penurunan kinerja yang sangat signifikan di level nasional, khususnya pada sektor manufaktur," ujarnya.
Selain itu, dia memperkirakan impor barang konsumsi, seperti pangan dan alat kesehatan akan dominan seiring dengan kebutuhan penanganan pandemi corona. Struktur impor konsumsi yang lebih tinggi menunjukkan industri nasional tengah terancam eksistensi dan pertumbuhannya.
Hal tersebut dikhawatirkan akan menambah defisit APBN. Sebab, impor konsumsi yang tinggi dapat menjadi faktor pelebaran defisit APBN bila produktivitas dan harga komoditi ekspor nasional terus turun. Terlebih lagi, ada penurunan permintaan global terhadap komoditas mentah.
(Baca: Banyak Industri Terdampak Corona, Otomotif dan Tekstil Paling Berat)
Sementara itu Shinta menilai ekspor tidak bisa terus diandalkan sebagai penghasilan lantaran permintaan dunia juga turun drastis. Menurutnya, hampir semua komoditas mengalami penurunan permintaan, kecuali bahan baku obat dan alat kesehatan.
Ke depannya, dia memperkirakan ekspor yang potensial yaitu bahan mentah dan komoditas tambang, khususnya batu bara. Sebab permintaan dan harga batu bara cenderung stabil dibanding komoditas mentah lainnya.
"Komoditas lain yang potensial untuk diekspor adalah emas. Karena asumsi emas sebagai instrumen investasi safe haven sepanjang kontraksi ekonomi," ujar dia.
BPS pun mencatat, total ekspor secara kumulatif Januari-Maret 2020 mencapai US$ 41,79 miliar, tumbuh 2,91% se. Sementara itu, impor tercatat turun 3,69% dibanding periode yang sama tahun lalu. Dengan demikian, neraca perdagangan Januari-Maret 2020 tercatat surplus mencapai US$ 2,62 miliar.
(Baca: Kinerja Ekspor-Impor Membaik, Neraca Dagang Maret Surplus US$ 743 Juta)