Perjanjian perdagangan antara Indonesia dengan Australia resmi dibuka. Hal ini ditandai dengan diselesaikannya ratifikasi Undang-Undang tentang Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA).
"Undang-Undang IA-CEPA ini saya setujui," kata Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKB Muhaimin Iskandar selaku pemimpin rapat paripurna di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (6/2).
(Baca: Mendag Agus Kebut Ratifikasi Perjanjian Dagang dengan Australia)
Ketua Komisi VI DPR Martin Manurung mengatakan, pembahasan substansi IA-CEPA terdiri dari dua pasal dan lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
"Telah disepakati oleh pemerintah dan DPR untuk menjadi undang-undang dengan beberapa perubahan teknis di dalam penjelasan umum," ujar dia.
Namun, Komisi VI telah memberikan beberapa catatan terhadap pemerintah menjelang diterapkannya perjanjian dagang bebas antara Indonesia-Australia. Perjanjian perdagangan ini harus saling menguntungkan agar dapat membantu Indonesia memangkas defisit neraca pembayaran.
Selain itu, perjanjian ini juga diharapkan bisa meningkatkan kinerja ekspor Indonesia. Dengan demikian, ada dampak positif bagi neraca perdagangan.
Komisi VI juga berharap, penghapusan hambatan tarif dan non-tarif dalam perdagangan barang, tidak serta merta dapat menghilangkan sertifikasi halal pada produk-produk impor yang masuk ke Indonesia, khususnya produk makanan dan minuman baik kemasan maupun olahan.
(Baca: Pacu Ekspor, Kemendag Bidik Penyelesaian 12 Perjanjian Dagang di 2020)
Sementara itu, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, persetujuan UU tersebut menandai terbentuknya payung hukum perdagangan kedua negara. "Ini akan membawa dampak luas. Dengan ini, payung hukum kedua negara sudah ada," ujar dia.
Adapun selanjutnya, Presiden Joko Widodo rencananya akan bertolak ke Australia untuk menentukan langkah kerja sama kedua negara. Selain itu, pemerintah juga akan mendorong para pengusaha untuk memanfaatkan perjanjian IA-CEPA.
Sebagai informasi, Australia merupakan negara tujuan ekspor nonmigas ke-17 dan sumber impor nonmigas ke-8 bagi Indonesia. Total perdagangan Indonesia-Australia pada 2018 mencapai sekitar US$ 8,6 miliar.
(Baca: Banyak Pabrik Tutup, Industri Otomotif Sasar Pasar Ekspor Australia)
Ekspor Indonesia ke Negeri Kangguru itu tercatat US$ 2,8 miliar dengan nilai impor US$ 5,8 miliar. Ini berarti, Indonesia mengalami defisit neraca dagang dengan Australia sebesar US$ 3 miliar.
Dari 10 besar komoditas impor Indonesia dari Australia, mayoritas merupakan bahan baku atau bahan penolong industri. Di antaranya gandum, batu bara, bijih besi, aluminium, seng, gula mentah, serta susu dan krim.
Sementara, produk ekspor utama Indonesia ke Australia pada 2018 adalah minyak bumi senilai US$ 636,7 juta, kayu dan furnitur US$ 214,9 juta, panel LCD, LED, dan panel display lainnya US$ 100,7 juta, alas kaki US$ 96,9 juta, serta ban US$ 61,7 juta.
Sedangkan, produk impor utama Indonesia dari Australia yakni gandum US$ 639,6 juta, batu bara US$ 632 juta, hewan hidup jenis lembu US$ 573,9 juta, gula mentah atau tebu lainnya US$ 314,7 juta, serta bijih besi dan bijih lainnya US$ 209,3 juta.
Adapun investasi Australia di Indonesia pada 2018 mencapai US$ 597,4 juta, yang terdiri dari 635 proyek melibatkan 400 perusahaan lebih. Investasi tersebut pada sektor pertambangan, pertanian, infrastruktur, keuangan, kesehatan, makanan, minuman, dan transportasi.