Kementerian Perdagangan (Kemendag) menilai daya saing Indonesia masih lemah dibandingkan Vietnam. Akibatnya, Indonesia masih tertinggal dibanding Vietnam dalam menangkap peluang perang dagang AS-Tiongkok.
"Vietnam bisa menggantikan produk Tiongkok di pasar AS (Amerika Serikat). Indonesia juga bisa, bila siap. Tapi kita masih lemah," kata Pusat Kajian Perdagangan Luar Negeri, Nurlaila Nur Muhammad di Grand Mercure, Jakarta, Kamis (25/7).
Dia menyatakan Kemendag memiliki tugas berat untuk menjaga neraca perdagangan tetap sehat. Hal ini untuk mencegah pelebaran defisit transaksi berjalan.
(Baca: Indeks KICI: Investor Institusi Paling Khawatir Efek Perang Dagang)
Oleh karena itu, pihaknya akan mencoba fokus mendorong ekspor. Upaya ini dilakukan dengan melakukan pemetaan potensi, menerbitkan kebijakan dari sisi ekspor dan impor, serta berdiskusi dengan kementerian dan lembaga terkait.
Nurlaila juga mengatakan, Indonesia juga harus bisa memanfaatkan fasilitas pengurangan bea masuk atau Generalized System of Preferences (GSP). "Selama belum dicabut, pengusaha bisa manfaatkan GSP," ujarnya.
Pengamat luar negeri dari ASEAN International Advocacy Shanti Ramchand Shamdasani mengatakan Vietnam dapat lebih unggul dalam memanfaatkan perang dagang karena beberapa faktor. "Vietnam sejak tahun 80-an sampai sekarang sudah posisikan untuk basis ekspor dan manufaktur," kata dia.
Selain itu, Vietnam juga memiliki kerja sama bilateral dengan Uni Eropa. Ini artinya, Vietnam memiliki produk yang berkualitas baik untuk diekspor ke Uni Eropa.
(Baca: Pemerintah Didorong Dekati Tiongkok untuk Menekan Defisit Dagang)
Di sisi lain, Vietnam berada di posisi yang lebih dekat dari Tiongkok, dibandingkan dengan Indonesia. Karena itu, Vietnam dinilai strategis sebagai pemain global.
Ia pun merekomendasikan pemerintah untuk tidak hanya fokus pada masalah perang dagang. "Yang perlu diselesaikan adalah masalah logistik ataupun infrastruktur," ujarnya.
Selain itu, kualitas sumber daya manusia juga perlu ditingkatkan dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Sebab, investor masih mengeluhkan kemampuan tenaga kerja Indonesia yang tidak sebaik negara tetangga.