Pemerintah Fokus Tingkatkan Daya Saing Tenaga Kerja Indonesia
Kementerian Ketenagakerjaan terus berupaya meningkatkan kompetensi tenaga kerja Indonesia agar menjadi tenaga yang terlatih dan terampil. Dengan perbaikan-perbaikan kualitas melalui pendidikan vokasi, pemagangan, dan pemberian sertifikasi, para tenaga kerja itu pada akhirnya diharapkan bisa meningkatkan daya saing Indonesia di tingkat dunia.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan setelah fokus membangun infrastruktur, pemerintah akan fokus untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia mulai tahun ini.
"Kebutuhan kita adalah SDM berkualitas dalam jumlah relatif memadai dan tersebar merata di berbagai daerah. Itu tantangan kita pada tahun 2019, " kata Menteri Hanif.
Indonesia sebenarnya bisa memanfaatkan bonus demografi untuk memacu pertumbuhan ekonomi, karena terbukti negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan mengalami booming pertumbuhan ekonomi. Ketiga negara itu berhasil mempersiapkan sumber daya manusia pada saat terjadi bonus demografi dan berhasil mengatasi masalah-masalah seperti pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja.
Badan Pusat Statistik memprediksi Indonesia selama periode 2030-2040 akan menikmati bonus demografi. Di tahun-tahun itu, jumlah penduduk Indonesia yang berusia produktif, yakni 15 hingga 64 tahun, lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif, di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. Pada periode ini, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan akan mencapai 297 juta jiwa.
BPS juga memproyeksikan pada tahun ini, kelompok usia produktif akan mencapai besaran 67 persen dari total populasi penduduk dan sebanyak 45 persen dari 67 persen tersebut berusia antara 15-34 tahun. Namun setelah 2030, jumlah penduduk usia tua (65 tahun ke atas) mulai meningkat. Hingga pada 2045, Indonesia sudah memasuki aging society dengan perkiraan penduduk tua mencapai 12,45 persen dari total penduduk.
Sayangnya dari sisi daya saing, Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Meskipun secara global daya saing Indonesia meningkat, di tingkat ASEAN Indonesia masih kalah dari beberapa negara ASEAN lain. Menurut World Economic dalam The Global Competitiveness Report 2018, daya saing Indonesia berada di peringkat ke 45 dari 140 negara. Meski naik dari peringkat ke 47 dari 135 negara pada 2017, peringkat daya saing Indonesia pada 2018 itu masih berada di bawah Singapura (peringkat ke 2), Malaysia (25, dan Thailand (38). Indonesia hanya unggul dari Filipina (58), Brunei Darussalam (62), Vietnam (77), Kamboja (110), serta Laos (112).
Peningkatan daya saing itu diukur dengan 12 pilar, yaitu kualitas institusi, infrastruktur, kondisi makro ekonomi, pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar, pelatihan dan pendidikan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembangan pasar keuangan, penerapan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi.
Hanif mengakui, calon tenaga kerja yang ada saat ini sebagian besar masih berpendidikan sekolah dasar (SD). Presiden Joko Widodo dalam akun Twitter-nya @jokowi pada 11 Mei 2019 juga menyebutkan “Sekarang saatnya fokus pada pembangunan SDM. Sebanyak 51 persen tenaga kerja kita lulusan SD. Ini harus kita selesaikan besar-besaran dengan pelatihan-pelatihan. Lalu, pendidikan kejuruan dihubungkan dengan industri agar lulusannya sesuai dengan kebutuhan, siap untuk hal-hal baru.”
Data Badan Pusat Statistik per Februari 2019 menunjukkan penyerapan tenaga kerja hingga Februari 2019 masih didominasi oleh penduduk bekerja berpendidikan SD ke bawah sebanyak 52,40 juta orang (40,51 persen). Penduduk bekerja berpendidikan sekolah menengah atas sebanyak 23,10 juta orang (17,86 persen), sekolah menengah pertama (SMP) sebanyak 22,97 juta orang (17,75 persen), dan sekolah menengah kejuruan sebanyak 14,63 juta orang (11,31 persen). Sementara penduduk bekerja berpendidikan tinggi (Diploma ke atas) mencapai 16,26 juta orang (12,57 persen), mencakup 3,65 juta orang berpendidikan Diploma I/II/III dan 12,61 juta orang berpendidikan universitas.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi sudah mengingatkan bahwa pada 2020-2030 jumlah penduduk usia produktif di Indonesia akan mencapai 52 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Jumlah penduduk usia produktif tersebut menjadi modal bagi Indonesia menyongsong Indonesia emas pada 2045 atau 100 tahun Indonesia merdeka.
Namun, bonus demografi ini bisa juga menjadi hambatan jika tidak dipersiapkan dengan baik. Indonesia, kata Presiden, akan mendapatkan bonus demografi yang bisa menjadi keuntungan besar dalam bersaing dengan negara-negara lain. Tapi kalau Indonesia tidak bisa mengelolanya, ini juga bisa menjadi masalah besar.
"Bonus demografi ibarat pedang bemata dua. Satu sisi adalah berkah, jika kita berhasil mengambil manfaatnya. Satu sisi lain adalah bencana apabila kualitas manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik," kata Jokowi.
Karena itu, menurut Presiden Jokowi, mulai sekarang Indonesia harus siap-siap menyongsong bonus demografi itu, karena akan banyak angkatan kerja yang muncul, yakni anak-anak muda yang produktif.
Menteri Hanif mengatakan, untuk tenaga kerja yang saat ini masih berpendidikan SD dan SMP akan ditingkatkan kompetensinya melalui pelatihan pemagangan dan sertifikasi yang sesuai kebutuhan industri agar bisa menjadi tenaga yang terlatih dan terampil, sehingga mampu terserap semuanya oleh industri.