Defisit neraca dagang April 2019 mencapai US$ 2,5 miliar, terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kasan Muhri mengatakan defisit terjadi karena pelemahan ekspor yang didorong oleh turunnya permintaan global.
"Defisit neraca perdagangan bulan April 2019 disebabkan melemahnya ekspor akibat penurunan permintaan global,” kata dia berdasarkan siaran pers pada Kamis (23/5).
Menurut dia, defisit neraca perdagangan April juga disebabkan meningkatnya defisit neraca perdagangan migas dari US$ 400 juta pada Maret menjadi US$ 1,5 miliar pada April. Sementara, neraca perdagangan nonmigas juga menurun secara bulanan, dari surplus US$ 1,1 miliar menjadi sebesar US$ 1 miliar.
Mitra dagang seperti Amerika Serikat (AS), India, Filipina, Belanda, dan Malaysia menyumbang surplus perdagangan nonmigas terbesar selama April 2019. Secara total, defisit dengan keseluruhan mitra dagang mecapai US$ 2 miliar. Sementara itu, lanjut Kasan, Tiongkok, Thailand, Jepang, Australia, dan Korea Selatan menyumbang defisit perdagangan nonmigas terbesar yang secara total mencapai US$ 3 miliar.
(Baca: Atasi Defisit Migas, Pemerintah Atur Kebijakan Ekspor Minyak Mentah)
Secara kumulatif, neraca perdagangan periode Januari-April 2019 masih mengalami defisit US$ 2,6 miliar. Hal ini disebabkan besarnya defisit neraca perdagangan migas yang mencapai US$ 2,8 miliar. Sementara, neraca perdagangan nonmigas hanya menyumbang surplus US$ 200 juta.
Adapun, kinerja ekspor April tercatat US$ 12,6 miliar atau turun 13,1% dibandingkan ekspor April 2018. Pelemahan ekspor tersebut disebabkan penurunan ekspor migas sebesar 37,1% dan penurunan ekspor nonmigas sebesar 11%. “Secara kumulatif, ekspor Januari-April 2019 sebesar US$ 53,2 miliar, menurun sebesar 9,4% dibanding Januari - April 2018,” ujar Kasan.
Secara rinci, ekspor pada April 2019 mengalami pelemahan pada semua sektor. Ekspor sektor pertanian pada April 2018 naik 7,4% sementara pada April 2019 turun 15,9%. Kemudian, ekspor sektor industri pada April 2018 naik 8,1%, sedangkan pada April 2019 turun 11,8%.
Lalu, ekspor sektor pertambangan pada April 2018 naik 12,7%, sedangkan tahun ini turun 6,5%. Adapun ekspor sektor migas pada April tahun lalu tumbuh 324,1%, sedangkan April tahun ini turun 37,1%.
(Baca: Menko Darmin: Semua Menderita Akibat Perang Dagang)
Secara kumulatif Januari-April 2019, ekspor seluruh sektor juga mengalami pelemahan. Ekspor sektor pertanian turun 3,3% secara tahunan, sektor industri turun 7,8%, sektor pertambangan turun 12,3% persen, dan sektor migas turun 18,2% secara tahunan.
Selain itu, penurunan ekspor nonmigas selama periode Januari - April 2019 juga dipicu melemahnya ekspor ke sepuluh mitra dagang utama Indonesia, kecuali Filipina dan Vietnam yang masing-masing naik sebesar 2,9% dan 27,1%. “Hal ini menunjukkan kondisi pelemahan permintaan pasar negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia,” jelas Kasan.
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan ekspor tetap harus digenjot mengingat potensi ekspor masih besar. "Potensi ekspor itu masih banyak, tidak hanya negara-negara tradisional yang menjadi mitra dagang kita," ujarnya.
Salah satunya, Afrika memiliki potensi besar sebagai mitra dagang. Selain itu, ekspor menuju negara ASEAN, Timur Tengah, dan Asia Tengah juga dinilai belum optimal. Kemudian, perjanjian kerja sama Indonesia Australia (Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement/IA-CEPA) juga dapat meningkatkan ekspor. "Subtitusi produk impor menjadi produk dalam negeri juga perlu ditingkatkan," ujarnya.
(Baca: Antisipasi Ekonomi Global Lesu, RI Perluas Ekspor ke Amerika Selatan)