Neraca perdagangan mengalami surplus dalam dua bulan terakhir, yaitu US$ 330 juta pada Februari dan US$ 540,2 juta di Maret 2019. Namun, Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan surplus tersebut hanya capaian semu.
Menurut dia , surplus neraca dagang seharusnya terjadi lantaran ekspor meningkat dan impor menurun. "Tapi yang terjadi pada Maret, nilai ekspor dan impor turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (15/4).
Bhima menilai, capaian semu tersebut dapat berdampak buruk pada perekonomian. Sebab, kinerja neraca dagang sangat berhubungan dengan produktivitas ekonomi maupun pertumbuhan ekonomi.
(Baca: Dua Bulan Berurutan Surplus, Neraca Dagang Maret US$ 540,2 Juta)
Menurut dia, nilai impor konsumsi seharusnya mengalami peningkatan lantaran saat ini mendekati Ramadan. Kalau yang terjadi impor konsumsi menurun, berarti permintaan domestik tengah melambat.
Impor bahan baku dan barang modal yang menurun, lanjut Bhima, berarti pengaruhnya ke sektor manufaktur. "Apakah ini indikasi manufaktur mengurangi produksinya?" ujar dia.
(Baca: Apindo: Pemerintah Harus Waspadai Peningkatan Impor Jelang Ramadan)
Ia menduga, pemerintah melakukan penundaan impor manufaktur lantaran mendekati pelaksanaan Pilpres 2019. "Kebijakan impor ini tidak populis," kata Bhima.
Sementara, impor migas ia nilai masih cenderung stabil. Pemicunya, nilai tukar rupiah yang stagnan sehingga kenaikan harga minyak tidak berlebihan. Impor migas Maret 2019 tercatat US$ 1,5 miliar turun 31,17% dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya.
Data Ekspor Maret 2019
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika mengatakan capaian surplus ini membuktikan pemerintah berhasil membalik pandangan pesimisme sejumlah pihak. “Ada yang memprediksi defisit US$ 464 juta, bahkan dalam rentang US$ 500 juta-US$ 1 miliar," ujarnya.
Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Nilai dan volume ekspor tumbuh 10%. Total ekspor sepanjang Maret mencapai US$ 15,58 miliar atau naik 11,7% dibandingkan bulan sebelumnya. Kemudian, nilai ekspor nonmigas melonjak hingga 13% dibandingkan Februari 2019.
(Baca: Menko Darmin Optimistis Defisit Neraca Transaksi Berjalan Membaik)
Volume ekspor Maret naik hampir 10% sedangkan volume ekspor nonmigas naik 17,72% dibandingkan Februari lalu. "Lonjakan volume ekspor mampu mengurangi pengaruh dari penurunan harga rata-rata ekspor Indonesia," ujarnya. Rata-rata harga total ekspor turun 4,6%, untuk harga nonmigas turun 4,01% dibandingkan bulan sebelumnya.
Nilai ekspor juga tercatat meningkat ke seluruh kawasan, kecuali Uni Eropa. Capaian ini meningkat dibandingan pada Februari yang menurun signifikan.
Dibandingkan bulan sebelumnya, nilai ekspor Maret ke Asean naik 12,9%; Uni Eropa turun tipis 0,6%; Tingkok 28,4%; Jepang 13%; Amerika Serikat 8,4%; India 10%; Australia 8,5%; Korea Selatan 8,2%; dan Taiwan 55,7%. Total ekspor 13 negara tujuan utama naik 13,3%; sedangkan ekspor ke negara lainnya naik 12,3%.
Sebagai perbandingan ekspor Indonesia ke Asean pada Februari turun 1,3%; Uni Eropa 19,6%; Tiongkok 11%; Jepang 13,5%; Amerika Serikat 15,7%; India 4,74%; Australia 18,4%; Korea Selatan 11%; dan Taiwan 34,2%. Total ekspor 13 negara tujuan utama turun 10,5%, sedangkan ekspor ke negara lainnya turun 8,21%.
Kenaikan nilai ekspor ke negara-negara itu memberikan optimisme terhadap perbaikan neraca perdagangan. Pemerintah juga meningkatkan jangkauan ke negara-negara nontradisional, seperti kawasan Afrika.
Menurut Erani, kinerja neraca perdagangan yang semakin membaik tidak terlepas dari upaya pemerintah menjaga inflasi sehingga biaya bisnis semakin murah. "Stabilitas inflasi berpengaruh terhadap biaya produksi, hingga harga barang-barang yang dihasilkan," ujarnya.
(Baca: Perbaiki Neraca Dagang, Kemendag Petakan Potensi Ekspor Jasa)
Selain itu, surplus juga terjadi karena langkah pemerintah dalam mengurangi hambatan ekspor dan memperluas pasar ekspor. Salah satu langkah pemerintah untuk menggenjot nilai ekspor adalah lewat negosiasi perdagangan ke negara-negara yang menghambat ekspor, terutama CPO dan batubara.
Pemerintah berupaya memperluas pasar ekspor ke Chili. Beberapa produk nonmigas ke negara itu meliputi alas kaki, mesin, peralatan mekanik, serta pakaian.
Upaya pemerintah menghemat BBM, dengan cara meningkatkan pemakaian energi terbarukan, mulai membuahkan hasil. Nilai impor migas pun berkurang.