Lembaga riset Perkumpulan Prakarsa merilis laporan mengenai aliran keuangan gelap pada enam komoditas ekspor unggulan Indonesia. Dalam laporannya, komoditas minyak sawit berada di peringkat pertama dalam aliran tersebut.
Peneliti Prakarsa Ramhmanda Muhammad menjelaskan bahwa pencatatan keuangan gelap bisa diketahui dari nilai ekspor dan impor suatu komoditas. "Negara lain mengklaim mengimpor dari Indonesia, sedangkan di sini tidak mencatat ekspor tersebut," kata dia, di Jakarta, Kamis (28/3).
Selama 1989-2017, Prakarsa menemukan nilai keuangan gelap yang masuk ke dalam negeri dengan cara over-invoicing totalnya US$ 101,49 miliar (sekitar Rp 1.420 triliun).
Yang berasal dari minyak sawit mencapai US$ 40,47 miliar. Batu bara menduduki peringkat kedua dengan nilai US$ 23,29 miliar, lalu karet US$ 17,91 miliar, tembaga US$ 14,57 miliar, kopi US$ 2,68 miliar, dan udang-udangan (krustasea) US$ 2,54 miliar.
(Baca: KPK Dorong Pemerintah Perbaiki Tata Niaga Minerba)
Sementara aliran duit gelap yang keluar akibat under-invoicing senilai US$ 40,58 miliar (Rp 579 triliun). Paling banyak dari komoditas batu bara mencapai US$ 19,65 miliar, minyak sawit US$ 8,69 miliar, karet US$ 5,35 miliar, udang-udangan US$ 2,5 miliar, tembaga US$ 2,3 miliar, dan kopi US$ 2,08 miliar.
Beberapa negara ada yang mencatat impor dari Indonesia, tetapi tidak tercatat sama sekali nilai ekspornya di dalam negeri. Misalnya, ekspor komoditas udang-udangan ke Luxembourg dengan nilai ekspor US$ 1,6 juta, Guatemala US$ 887 ribu, dan Bermuda US$ 412 ribu.
(Baca: Gelombang Penghindaran Pajak dalam Pusaran Batu Bara)
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menjelaskan banyaknya nilai uang gelap tersebut karena masalah ini terjadi dalam kurun waktu yang panjang. Perusahaan melakukan hal ini untuk menghindari kewajiban pajak.
Pieter juga menjelaskan Indonesia telah berupaya untuk menekan angka keuangan gelap, salah satunya dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun, sayangnya tidak bersinergi dengan baik.
"Sudah banyak lembaga yang membantu mengurangi aliran uang gelap. Tapi sayangnya tidak bersinergi dengan baik," ujarnya.