Pemerintah tengah mempersiapkan langkah berperkara dengan Uni Eropa untuk melawan diskriminasi terhadap sawit. Persiapan ini dilakukan seiring Sidang Parlemen Uni Eropa yang berlangsung mulai hari ini, Senin (25/3) hingga Kamis (28/3) mendatang.

"Jadi ini langkahnya sudah mengarah ke litigasi, bukan diplomasi," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan usai rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin (25/3).

Rapat tersebut dipimpin oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution. Ia mengundang sejumlah pejabat kementerian dan lembaga (k/l) serta pengusaha untuk membahas masalah ini dalam jadwal terpisah.

Perlawanan tersebut akan kemungkinan akan dilakukan secara paralel. Sementara pemerintah menggugat melalui World Trade Organization (WTO), perusahaan dan asosiasi dapat melalui court of justice.

(Baca juga: Marak Dikecam, Uni Eropa Rilis Pembelaan soal Aturan Biodiesel Sawit)

Pemerintah mengantisipasi jika nantinya Parlemen Eropa menyetujui rancangan kebijakan bertajuk Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive (RED) II yang diajukan oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019 lalu.

Oke memastikan pemerintah sepakat untuk tidak tinggal diam terhadap langkah diskriminatif Uni Eropa. Apalagi, sebelumnya Indonesia pernah memenangkan gugatan dalam kasus dumping dengan Uni Eropa.

Saat ini, lanjut Oke, pemerintah tengah menyusun beberapa strategi untuk perlawanan tersebut. "Kita juga belum memutuskan, kalau menggugat, kita akan menggunakan lawfirm apa dan lawfirm yang basisnya di mana. Masih berproses," ujarnya.

(Baca: Kalla Dukung Boikot Produk Eropa jika Ada Diskriminasi Sawit)

Sementara, Malaysia yang juga merupakan penghasil sawit terbesar di dunia pun tak tinggal diam. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad membuka kemungkinan untuk membatalkan pesanan jet tempur dari Eropa jika Benua Biru melanjutkan upaya diskriminasi sawit.

Malaysia sebelumnya diketahui berencana membeli sejumlah jet tempur Dassault Rafale buatan Perancis atau Eurofighter Typhoon untuk menggantikan pesawat buatan Rusia Mig-29. Namun, bisa saja pemerintah Negeri Jiran menggantinya dengan pesawat produksi negara lain, seperti Tiongkok.

"Jika mereka terus melakukan aksi melawan kami, kami akan berpikir untuk membeli pesawat-pesawat dari Tiongkok atau negara lain," ucap Mahathir seperti dikutip AFP dari kantor berita Malaysia, Bernama, Minggu (24/3).

Reporter: Rizky Alika