Uni Eropa Diskriminasi Sawit, Pemerintah Kaji Ulang Perjanjian IE-CEPA

ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Kelapa Sawit
19/3/2019, 12.01 WIB

Pemerintah tengah mengkaji ulang perjanjian dagang Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IE CEPA). Ini merespons rancangan peraturan Komisi Eropa yang merugikan negara produsen kelapa sawit.

Komisi Eropa mengadopsi draft Delegated Regulation yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi terhadap lingkungan. Menurut pemerintah, langkah tersebut bertujuan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor biofuel Uni Eropa, untuk menguntungkan minyak nabati lainnya, termasuk rapeseed yang diproduksi Uni Eropa.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan Imam Pambagyo mengatakan pemerintah sedang mengkaji apa yang harus dilakukan selanjutnya dengan perjanjian IE CEPA. “Minggu lalu kami melakukan tujuh perundingan soal perjanjian itu,” kata dia, di Jakarta, Senin (18/3).

(Baca: Dengan 10 Poin, Pemerintah RI Protes Larangan Sawit oleh Eropa)

Ia menjelaskan, keberlanjutan lingkungan merupakan salah satu fokus bahasan dalam perundingan. Ini masuk dalam salah satu bab perjanjian yaitu Perdagangan dan Pembangunan Berkelanjutan (Trade and Sustainable Development).

Menurut dia, tuntutan pemerintah jelas dalam isu minyak kelapa sawit, yaitu hanya akan merundingkan keberlanjutan atas seluruh minyak nabati, bukan hanya minyak kelapa sawit. “Harus non-diskriminatif, semua komoditas nabati perlakuannya sama,” kata dia.

Adapun pemerintah telah menyampaikan 10 tanggapannya atas keputusan Komisi Eropa. Pemerintah menyatakan akan menantang langkah tersebut dalam WTO, bahkan membuka kemungkinan langkah-langkah balasan, termasuk mengkaji hubungan dagang dan investasi dengan Uni Eropa.

(Baca: Pemerintah Siap Laporkan Diskriminasi Sawit Uni Eropa ke WTO)

Sebelumnya, keputusan Komisi Eropa juga disoroti International Union for Conservation of Nature (IUCN). Lembaga konservasi tersebut menilai pelarangan kelapa sawit justru berpotensi menyebabkan deforestasi. Penyebabnya, mengganti sawit dengan tanaman penghasil minyak nabati lain justru membutuhkan lebih banyak lahan.

Dalam proses produksinya, minyak kelapa sawit merupakan produk minyak nabati paling efisien dibandingkan bunga matahari, kedelai, dan rapeseed. Lembaga internasional asal Swiss itu mengatakan, per 0,26 hektare lahan sawit mampu menghasilkan satu ton minyak sawit. Hal ini berbanding terbalik dengan bunga matahari yang memerlukan hingga 1,43 hektare lahan untuk menghasikan jumlah yang sama.

(Baca: Pelarangan Sawit Berpotensi Meningkatkan Masalah Deforestasi)

Demikian halnya dengan rapeseed yang menghasilkan minyak rapa membutuhkan 1,25 hektar lahan per ton minyak nabati. Lalu, kacang kedelai perlu hingga 2 hektare lahan untuk menghasilkan satu ton minyak nabati.

Reporter: Rizka Gusti Anggraini