Hambatan Dagang Berpotensi Mengancam Ekspor Industri Pulp dan Kertas

Rony Muharrman
Industri pulp dan kertas
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
25/1/2019, 05.00 WIB

Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menyatakan hambatan perdagangan internasional berpotensi mengancam ekspor produk pulp dan kertas Indonesia. Penyebabnya, hambatan dagang seperti penerapan trade remedies, tarif bea masuk yang tinggi, serta hambatan nontarif semakin meningkat di dunia.

Executive Director APKI Liana Bratasida menyatakan tekanan liberalisasi perdagangan di sektor pulp dan kertas semakin kuat. "Penurunan ekspor bisa terjadi karena sanksi, sehingga berpotensi kehilangan pasar," kata Liana di Jakarta, Kamis (24/1).

(Baca: Indonesia-Finlandia Jajaki Kerja Sama Investasi Industri dan Teknologi)

Terlebih, persaingan perdagangan global semakin ketat, menyusul semakin banyaknya mitra dagang tradisional maupun non tradisional yang menerapkan praktik proteksionisme. Tercatat, ada 37 kasus pengenaan tuduhan dumping, 6 kasus tuduhan subsidi, serta 8 kasus tuduhan safeguards pada periode 1995 hingga 2017.

Menurutnya, salah satu negara yang kerap melakukan tuduhan dumping dan subsidi yakni Amerika Serikat (AS), Pakistan, India, Australia, serta Korea Selatan. Tuduhan itu pun berpotensi menghambat perdagangan hingga tahun lamanya.

Sementara itu, hambatan tarif untuk negara tradisional juga masih tinggi, terutama target wilayah pasar potensial seperti Afrika. Selain itu, ada pula hambatan nontarif lain seperti peraturan China National Tobacco Corporation (CTNC) di Tiongkok serta sertifikat Forest Stewardship Council (FSC) di Uni Eropa.

Sentimen negatif  juga kerap menjadi alasan dikenannya hambatan nontarif terhadpa produk pulp kertas Indonesia. "Opini terhadap produk Indonesia semakin banyak lewat kampanye negatif terkait kelestarian lingkungan," ujarnya.

(Baca: Menperin Paparkan Strategi Jangka Pendek Memacu Ekspor Manufaktur)

Padahal bahan baku untuk pulp dan kertas Indonesia memiliki kelebihan, selain karena jenisnya beragam,  waktu tanamnya pun lebih singkat yaitu hanya sekitar 5 tahun, sehingga produktivitasnya lebih besar. Sedangkan, bahan baku produk asing punya waktu tanam lebih lama antara 20 tahun hingga 40 tahun.

Oleh karena itu, dia masih optimistis ekspor pulp dan kertas akan terus meningkat. Sepanjang 2018, nilai ekspor pulp dan kertas sebesar US$ 7,26 miliar, naik 15,15% daripada 2017 yang hanya US$ 6,30 miliar.

Hal itu pula yang mengantarkan industri pulp dan kertas Indonesia pada posisi nomor satu di Asia Tenggara. Sementara di tingkat dunia, industri pulp dan kertas masih  menempati posisi 10 besar. Sehingga, dengan potensi industrinya yang besar, dia optimistis ada peningkatan ekspor sebesar 5% tahun ini. 

Apalagi, posisi Indonesia yang berada dekat dengan pasar Tiongkok dan India yang terkenal dengan populasinya yang besar. Ditambah lagi konsumsi nasional juga besar. "Kami optimis karena kami punya keunggulan kompetitif dan komparatif," katanya lagi.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku pemerintah tengah meningkatkan ekspor beberapa komoditas unggulan, salah satunya pulp dan kertas. Pemerintah pun sedang mengidentifikasi permasalahan penghambat ekspor dan mencari solusi untuk mengatasi kendala, terutama untuk kayu sebagai bahan baku.

Enggar juga mengungkapkan pemerintah tengah mengejar target penyelesaian 12 perjanjian perdagangan internasional. Yang mana dalam perundingan tersebut, pulp dan kertas adalah salah satu komoditas yang diprioritaskan. 

Reporter: Michael Reily