Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan lonjakan impor yang berimbas terhadap defisit neraca perdagangan dalam negeri periode Oktober 2018 terjadi akibat geliat pertumbuhan ekonomi. Alasannya, impor periode tersebut didominasi oleh barang modal dan bahan baku penolong.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan total impor sepanjang Oktober 2018 tercatat sebesar US$ 17,62 miliar, lebih tinggi dibanding performa ekspor US$ 15,8 miliar. Alhasil, pemerintah mencatat defisit neraca dagang mencapai US$ 1,82 miliar.
"Karena pertumbuhan ekonomi relatif masih baik, impor jalan terus dengan dominasi bahan baku penolong baru barang modal," kata Darmin di Jakarta, Kamis (15/11) malam.
(Baca: Impor Solar Melonjak, Sri Mulyani Minta Kementerian Energi Kaji B20)
Dalam struktur impor non-migas (minyak dan gas bumi), impor bahan baku penolong menyumbang sebesar 75,85% dengan nilai impor sekitar US$ 13,37 miliar. Sedangkan impor barang modal bulan lalu menyumbang 15,63% dengan nilai US$ 2,75 miliar.
Adapun impor konsumsi, juga turut menyumbang defisit dengan nilainya mencapai US$ 1,50 miliar. Meski begitu, kontribusi impor barang konsumsi terhadap totall impor relatif kecil hanya sebesar 8,52%. "Barang konjumsi juga meningkat tetapi peranannya tidak banyak berubah," ujarnya.
Damin mengakui impor sektor minyak dan gas bumi masih menjadi kendala utama dalam mengurangi defisit neraca perdagangan. Kenaikan volume impor yang diikuti dengan lonjakan harga minyak telah memberi tekanan. Akibatnya.defisit neraca perdagangan pun semakin melebar di kisaran US$ 5,51 miliar per Januari-Oktober 2018.
Mengacu BPS, impor migas kuartal pertama sampai kuartal ketiga 2018 nilainya mencapai US$22,04 miliar, tumbuh 27,10% dari periode yang sama tahun lalu dengan nilai US$ 17,34 miliar. Pada Oktober, impor migas mencapai US$ 2,91 miliar, naik 20,60% dibandingkan September yang sebesar US$ 2,29 miliar.
(Baca juga: Ada Kebijakan B20, Impor Solar pada Oktober Malah Melonjak 78%)
Selain dari sisi impor, kinerja ekspor Indonesia pun menghadapi tekanan. Perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) juga telah menyebabkan iklim ekonomi global diliputi ketidakpastian. Meski tak ikut serta langsung dalam perseteruan ekonomi internasional, Indonesia pun terkena dampak lanjutan perang dagang.
Restriksi pasar dunia terhadap komoditas andalan minyak kelapa sawit (CPO) seperti tingginya tarif India dan kampanye negatif Uni-Eropa juga menyebabkan ekspor Indonesia terhambat. Ekspor sawit Indonesia turun sebesar 9,94% padahal porsinya bisa mencapai 12,52%.
Alhasil, pertumbuhan ekspor Indonesia sepanjang Januari sampai Oktober 2018 hanya mencapai 8,73%. Pada periode yang sama, impornya meningkat 22,58% "Sehingga pertumbuhan ekspor sama sekali tidak bisa mengimbangi pertumbuhan impor," kata Darmin.
Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto berpandangan, pembengkakan impor terjadi karena besarnya kebutuhan domestik untuk impor bahan bakar minyak dan produk pangan. Terlebih, musim penghujan membuat suplai pangan domestik terganggu.
Selain itu, kebutuhan impor untuk proyek infrastruktur juga masih tinggi, meski pemerintah mulai sedikit menahan. "Periode akhir tahun merupakan momen untuk penyelesaian proyek," ujar Myrdal. (Baca juga: Menteri ESDM Bantah Defisit Neraca Dagang Bengkak karena Impor Migas)
Perlambatan ekonomi Tiongkok sebagai negara mitra dagang utama Indonesia menurutnya juga ikut berkontribusi terhadap tertahannya kinerja ekspor. Sentimen negatif perang dagang pun menyebabkan permintaan global mengalami penurunan.
Sepanjang Januari hingga Oktober 2018, defisit Indonesia terhadap Tiongkok mencapai US$ 15,93 miliar, naik 44,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu dengan nilai US$ 11,05 miliar.