Tawaran Indonesia dalam Negosiasi Insentif Bea Masuk AS Tak Imbang

Katadata
Aktifitas kapal di sebuah pelabuhan ekspor.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ekarina
26/7/2018, 16.12 WIB

Pemerintah Indonesia menyiapkan sejumlah langkah strategis dalam rangka mempertahankan fasilitas insentif bea masuk impor (Generalized System of Preferences /GSP) atas produk Indonesia oleh pemerintah Amerika Serikat (AS). Namun ekonom menilai beberapa langkah dianggap tidak sebanding karena berpotensi memberi keuntungan lebih besar untuk pihak AS daripada fasilitas GSP yang diterima Indonesia.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah berupaya memangkas beberapa hambatan non tarif untuk memenuhi permintaan Amerika. "Hal itu justru kurang fair," kata dia kepada Katadata, Rabu (25/7).

Menurutnya, pemerintah harus mengkalkulasi jumlah manfaat fasilitas GSP dibandingkan pelonggaran hambatan non tarif yang  akan dilakukan pemerintah. Dalam setahun, Indonesia menerima manfaat sebesar US$ 1,8 miliar dari GSP, sementara pelonggaran hambatan dagang produk AS bisa lebih besar dari nilai tersebut.

Data World Trade Organization (WTO)  pada 2016 mencatat, pengenaan  hambatan non-tarif (non-tarif measure) Indonesia merupakan yang terendah dibandingkan negara lain yakni hanya mencakup sekitar 272 jenis. Sedangkan Uni Eropa merupakan yang tertingi dengan jumlah pengenaaan tarif  6.805 jenis, diikuti AS 4.780 jenis dan Tiongkok sebanyak 2.194 jenis.

(Baca : Darmin Sebut Sistem Pembayaran Nasional Penyebab AS Evaluasi Bea Masuk )

"Artinya Indonesia punya potensi kerugian yang lebih besar," ujar dia.

Meski demikian, dalam perundingan GSP pemerintah sebetulnya memiliki posisi tawar yang lebih lebih kuat, yaitu terkait masalah Freeport. Namun sayangnya, menurut Bhima, pemerintah tidak memanfaatkan strategi ini.

Sementara itu, asosiasi pengusaha berpendapat lain. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani Widjaja mengatakan strategi yang dilakukan pemerintah merupakan upaya agar Indonesia tetap berhak mendapatkan fasilitas GSP. "Ya ini supaya kita bisa tetap eligible, bukan soal bargaining," ujar dia.

Berdasarkan paparan Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, pemerintah telah menyiapkan beberapa strategi guna mempertahankan GSP. 

Strategi pertama yakni dengan menghilangkan hambatan perdagangan AS di Indonesia. Misalnya, dengan melakukan penyesuaian terhadap Peraturan Menteri  Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan terkait importasi produk ternak dan hortikultura sesuai dengan putusan  badan penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) WTO. 

Kemudian, pemerintah berencana untuk menghilangkan hambatan investasi AS di Indonesia.

(Baca: Pencabutan Insentif Bea Masuk Impor AS Berpotensi Merugikan Indonesia)

Hal lain, Indonesia akan mengimplementasikan work plan on Intellectual Property Rights (IPR) Indonesia-Amerika sesuai dengan hasil pertemuan Trade and Investment Framework Arrangement (TIFA) Indonesia-Amerika pada 14 Mei 2018 di Jakarta.

Tidak hanya itu, Indonesia juga akan melakukan monitoring  dan penegakan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual, termasuk meningkatkan edukasi ke masyarakat untuk memberantas pelanggaran HKI.

Menko Perekonomian Darmin Nasution sebelumnya mengtakan pemerintah memiliki kepentingan dalam mempertahankan fasilitas insentif bea masuk impor ke AS karena hal ini menyangkut banyak komoditas ekspor ke Indonesia. "Pokoknya kami mau berusaha sekuat tenaga supaya itu bisa tetap," katanya.

Saat ini terdapat sekitar  124 produk ekspor asal Indonesia yang menerima pemotongan bea masuk impor. Namun karena AS mencatat defisit dagang dengan Indonesia, maka fasilitas insentif ini kemudian direview kembali. 

Pemerintah AS telah memberikan batas waktu kepada Indonesia untuk mempresentasikan pembelaan hak kelayakan produk Indonesia dalam GSP. Pada 19 Juni 2018 lalu juga telah diadakan ulasan dan rapat dengar pendapat dalam praktik GSP India, Indonesia, dan Kazakhstan.