Pengusaha Sapi Potong Sebut Sulit Bersaing dengan Daging Impor

ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
Peternak menjual sapi potong miliknya di pasar hewan, Ngawi, Jawa Timur, Minggu (12/3). Pemerintah melalui Kementerian Pertanian berupaya mengejar swasembada daging di tahun 2026 dengan program Inseminasi Buatan (IB) lewat Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab) dengan terget tiga juta ekor pada tahun 2017.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
5/6/2018, 09.17 WIB

Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) mengaku  kesulitan bersaing dengan komoditas daging  impor seiring dengan kebijakan yang diterapkan  pemerintah. Selain itu, kebijakan yang mewajibkan setiap impor sapi bakalan,  juga harus disertai  impor 20% sapi indukan dinilai telah membuat iklim usaha penggemukan sapi potong (feedlot) menjadi lesu.

Direktur Eksekutif Gapuspindo Joni Liano menjelaskan ada sejumlah perhitungan yang menjadikan dampak kebijakan impor sulit dilakukan. “Pemerintah telah membentuk harga daging kerbau beku dengan patokan Rp 80 ribu per kilogram,” kata Joni di Jakarta, Senin (4/6).

Dengan kebijakan itu,  masyarakat menjadi lebih tertarik memilih daging kerbau beku yang  harga jualnya lebih murah dibandingkan dengan daging sapi segar harganya sudah mencapai Rp 120 ribu per kilogram. Regulasi ini dinilai menyebabkan para pengusaha ternak sapi potong ragu untuk berbisnis.

(Baca : Ketergantungan Impor Daging Dituding Penyebab Lemahnya Peternak Lokal)

Padahal,  menurutnya, peternakan sapi potong bisa memberikan efek domino pada tenaga kerja dan pertambahan pendapatan masyarakat. Dia mencontohkan, dengan mengimpor sebanyak 600 ekor  sapi bakalan maka dibutuhkan waktu kurang lebih  empat bulan untuk  proses penggemukkan dengan biaya pakan Rp 35 ribu per hari. Alhasil, impor sapi bakalan memicu perputaran uang sekitar Rp 3,5 triliun di perdesaan. Selain itu, serapan tenaga kerja, bisnis Rumah Potong Hewan (RPH), transportasi, dan pertanian juga akan bertambah.

Gapuspindo mencatat, saat ini total kebutuhan daging  nasional bisa mencapai sebanyak 663 ribu ton per tahun, sedangkan produksi nasional  baru mencapai 51% dari total kebutuhan. Sehingga untuk memenuhi sebagian kebutuhan itu harus ditempuh pemerintah dengan  cara impor.  Tercatat, saat ini pemerintah telah membuka kuota impor sebanyak  750 ribu ekor sapi.

Upaya pengusaha mengikuti arahan kebijakan impor sapi bakalan dan sapi indukan juga diakui memiliki sejumlah kendala, salah satunya terkait biaya produksi atau  biaya operasional yang bisa lebih besar. 

Misalnya, untuk pengembang sapi indukan akan memakan ruang dua setengah kali lebih banyak dibandingkan sapi bakalan. Sehingga kapasitas kandang sebesar 10 ribu hanya bisa menampung hingga  4 ribu ekor sapi indukan. Kewajiban impor sapi indukan bakal juga dinilai bisa mengubah minat pengusaha peternakan karena butuh 3 tahun agar bisnisnya bisa menghasilkan keuntungan.

(Baca : Jelang Lebaran, Persediaan Daging Diprediksi Masih Defisit 46 Ribu Ton)

Selain itu, pengusaha pun mengaku kesulitan mencari akses permodalan dari perbankan, lantaran Kredit Usaha Rakyat (KUR) umumnya mematok bunga  di atas 7%, sementara peternak biasanya hanya mampu mengakses pinjaman berbunga 3%.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menjelaskan  permintaan masyarakat yang tinggi serta upaya mencegah kebutuhan lonjakan  harga daging, menjadi salah satu alasan Kemendag membuka keran impor. Tak hanya  daging sapi, impor daging kerbau beku pun akan dimaksimalkan kuotanya menjadi 100 ribu ton.

“Kami tidak akan memperlambat perizinan impor daging, siapapun yang mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian akan kami berikan izinnya,” kata Oke.

(Baca juga : Kemendag Terbitkan Izin Impor 36 Ribu Ton Daging Sapi)