Indonesia terancam keluar dari enam perjanjian dagang jika tidak segera menyelesaikan proses ratifikasi perjanjian perdagangan sebelum memasuki masa tenggat. Pasalnya, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang belum melakukan ratifikasi pada kerja sama regional Asia Tenggara dengan beberapa negara mitra dagang.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjelaskan pihak ASEAN telah memberikan batas waktu sampai 30 Juni 2018 untuk komitmen pada Free Trade Agreement (FTA).
“Mereka mengancam akan mengeluarkan kita dari perjanjian dagang bebas,” kata Enggar di Jakarta, Kamis (31/1).
Karenanya Kementerian Perdagangan dan Komisi Perdagangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah berupaya menyelesaikan ratifikasi enam Undang-Undang (UU) perjanjian dagang untuk ASEAN secepatnya.
Ada empat perjanjian dagang yang harus segera diratifikasi, yaitu ASEAN-China FTA, ASEAN-India FTA, ASEAN-Australia-New Zealand FTA, dan ASEAN-South Korea FTA. Selain itu, ada juga persetujuan ASEAN mengenai petunjuk alat kesehatan dan protokol untuk pelaksanaan komitmen paket kesembilan dalam persetujuan kerangka kerja ASEAN di bidang jasa.
(Baca : Ratifikasi Perjanjian Ekonomi Komprehensif Chile Diteken Pekan Depan)
Menurutnya, opsi yang ditawarkan ASEAN jika pemerintah Indonesia tidak segera menentukan sikap adalah mengundurkan dari kerja sama atau segera menyelesaikan proses ratifikasi secepatnya. Karenanya, dia meminta parlemen untuk segera mengambil keputusan.
Dengan memperluas perjanjian dagang pemerintah bisa meningkatkan ekspor lebih banyak karena akses pasar yang luas dan mengurangi kekhawatiran terhadap lonjakan impor. Pasalnya, ada penyesuaian tarif yang membuat nilai produk Indonesia lebih kompetitif.
“Jika tidak melakukan ratifikasi, kita akan lebih rugi dibandingkan negara lain,” ujar Enggar.
(Baca : Perundingan Dagang dengan Australia, Chile dan Eropa Dikebut Bulan Ini)
Di sisi lain, Ketua Komisi Perdagangan DPR Teguh Juwarno masih mempertanyakan instrumen yang disiapkan jika pemerintah Indonesia melakukan penyesuaian tarif yang berdampak pada kemudahan akses produk asing masuk ke Indonesia. Pasalnya, keputusan parlemen harus berpihak kepada kepentingan nasional seperti dunia usaha yang berhubungan dengan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha dalam negeri.
Namun Kementerian Perdagangan menjawab alternatif pembatasan impor bisa diantisipasi dengan memberlakukan metode non-tariff measure seperti safeguard dan non-tariff barrier. Langkah nyata lain yang akan dilakukan adalah dengan pembatasan pelabuhan jika produk impor yang masuk sudah terlalu banyak.
Mendapat jawaban demikian, DPR akhirnya menyatakan sikap untuk mendukung peningkatan ekspor dengan ratifikasi keenam perjanjian dagang. Mendag pun menyebut akan segera melaporkan kepada ASEAN bahwa Indonesia sudah berkomitmen melakukan ratifikasi dan meminta diberikan tambahan waktu. Pasalnya, masih ada beberapa hal yang masih akan dibahas tentang ratifikasi antara Kemendag dan DPR sebelum ratifikasi itu di sahkan dan diteken.
“Kami harap awal Juli sudah selesai,” kata Teguh.