Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto mengatakan industri farmasi merupakan sektor yang paling parah terkena dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga kini belum stabil, bahkan telah menyentuh level Rp 14.200.
"Industri pharmaceutical menjadi persoalan karena dia sebagian bahan baku impor, (sedangkan) jualnya rupiah," kata Airlangga di kediamannya, Jakarta pada Selasa (22/5).
Industri farmasi tidak bisa melakukan ekspor karena terkendala beberapa hal seperti hak kekayaan intelektual (intellectual property right). "Kemudian kalau kita bicara dengan bio chemical ada urusan dengan sampel, bagaimana sampel itu bisa diekspor impornya lebih mudah," kata Airlangga.
Kementerian Perindustrian mengupayakan menekan beban industri farmasi dengan mengupayakan menambah konten lokal dalam kegiatan di sektor farmasi. "Jadi semakin banyak konten lokal itu akan sangat membantu daya saing industri," ujar Airlangga.
(Baca juga: Pelemahan Rupiah Menekan Industri Makanan dan Minuman)
Tidak hanya industri farmasi, beberapa industri menengah-besar yang pinjamannya dalam bentuk dolar AS pun terdampak stabiliasinya. Namun, Airlangga memastikan industri-industri besar tidak merugi karena ada natural hedging. "Jadi natural hedging-nya adalah utangnya dolar, produknya juga dolar (dari ekspor)," katanya.
Untuk industri kecil-menengah, kata Airlangga, malah mendapatkan keuntungan karena industri ini hampir seluruhnya menggunakan bahan baku dan tenaga kerjanya yang berasal dari dari dalam negeri. Kemudian mereka menjual produknya ke luar negeri sehingga mendapatkan dolar.
Namun satu sisi, industri berbasis ekspor memiliki kerentanan karena bergantung pada perubahan kebijakan dan pasar negara tujuan ekspor. "Sebagai contoh, ekspor otomotif ke Vietnam. Begitu mereka membuat regulasi baru, itu langsung seluruh market-nya tertutup dan (efek) itu bisa sifatnya instan," katanya.
Sebelumnya Wakil Presiden PT Astra Daihatsu Motor Sudirman Maman Rusdi mengatakan, industri otomotif terkena dampak pelemahan rupiah karena masih mengimpor bahan baku dari luar negeri.
Saat ini impor bahan baku untuk industri otomotif rata-rata mencapai 60%. "Dampak ada, terutama bahan baku kan masih banyak diimpor," kata Sudirman.
Selain dampaknya langsung kepada produsen kendaraan, industri komponen juga diperkirakan terdampak atas melemahnya nilai tukar rupiah. Sebab, bahan baku komponen juga masih banyak diimpor.
(Baca juga: Kurs Rupiah Tembus 14.200 per Dolar AS, Ini Tiga Penyebabnya)
Sudirman mengatakan, belum bisa memperkirakan dampak pelemahan nilai tukar rupiah karena masih bersifat sementara. "Belum dihitung," kata Sudirman.
Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya ialah kecenderungan importir untuk memegang dolar sebelum dolar bertambah mahal.
"Importir lebih banyak memegang dolar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek. Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal," ujar dia kepada Katadata.co.id beberapa waktu lalu.