Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional (GP Jamu) berharap pemerintah turun tangan membantu menyelamatkan kasus pailit PT Nyonya Meneer. Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah pekan lalu menyatakan produsen jamu tertua di Indonesia itu pailit karena gagal membayar kewajiban utang terhadap kreditor.
“Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kiprah perusahaan yang berusia hampir seratus tahun dan juga dampaknya terhadap seribu pekerjanya,” Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional (GP Jamu) Dwi Ranny Pertiwi dihubungi Katadata, Senin (7/8).
Dwi Ranny mengungkapkan Kementerian Perindustrian telah merespons dengan mengadakan pertemuan khusus dengan Presiden Direktur Nyonya Meneer Charles Saerang membahas permasalahan perusahaan. Dia berharap pemerintah menyiapkan langkah konkret membantu menyelesaikan kasus pailit perusahaan.
(Baca: Nyonya Meneer Pailit, Bappenas Lihat Bukan Faktor Bisnis Jamu)
Pihak Nyonya Meneer pun tak tinggal diam, mereka menyatakan akan mengajukan kasasi atas keputusan pailit. PN Semarang memberikan waktu hingga Jumat (11/8) bagi perusahaan untuk mengajukan memori kasasi. "Pak Charles sudah mengatakan kepada kami akan mengajukan kasasi," kata Dwi Ranny.
Dwi Ranny mengatakan keputusan pailit ini mengagetkan industri jamu nasional. “Keputusan pailit ini benar-benar mengagetkan, saat perusahaan memperbaiki kinerja penjualan untuk membayar cicilan utang, tiba-tiba dikeluarkan keputusan ini, kok tega sih,” kata Dwi Ranny.
PN Semarang pada Kamis (3/8) mengabulkan permohonan pembatalan membatalkan putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan kreditor asal Kabupaten Sukoharjo yang bernama Hendrianto Bambang Santoso. "Informasi yang saya dapat, Hendrianto ini mitra perusahaan sejak lama sekali," kata Dwi Ranny.
Sejak 20 Juni 2017, Hendrianto mengajukan permohonan agar pengadilan membatalkan Putusan Pengesahan Perdamaian (homologasi) yang disahkan pada 1 Juni 2015. Putusan tersebut menyebutkan Nyonya Meneer memiliki waktu hingga 20 Juni 2020 menyelesaikan persoalan utang dari 36 kreditor yang berjumlah Rp 270 miliar.
Hendrianto mengajukan permohonan membatalkan putusan perdamaian karena Nyonya Meneer dianggap tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya sebesar Rp 7,04 miliar. Atas putusan pailit, hakim telah menunjuk kurator untuk menyelesaikan kewajiban Nyonya Meneer kepada para kreditor.
Berdasarkan informasi dari situs PN Semarang, selain gugatan dari Hendrianto, perusahaan menghadapi perkara yang sama dari tiga pihak lainnya. Pertama, gugatan pernah diajukan atas nama Meilinar dkk yang memohonkan pembatalan perdamaian gugatan karena Nyonya Meneer belum membayarkan hak karyawan sebesar Rp 91 miliyar. Gugatan yang diajukan pada 25 April 2017 kemudian dicabut pada 8 Mei 2017.
(Baca juga: Bank Mandiri Minta 7-Eleven Jual Aset untuk Lunasi Kredit Macet)
Kedua, gugatan karyawan atas nama Kodriyah dkk pada 8 Mei 2017. Alasan gugatan karena perusahaan tak membayar tunggakan gaji karyawan bulanan sejak November 2015 hingga Mei 2017 dan tunggakan gaji karyawan harian sejak Januari 2016 hingga Mei 2017 senilai Rp 3,7 miliar belum dibayar perusahaan.
Permohonan yang diajukan sejak 8 Mei 2017 meminta pengadilan memutuskan pailit dengan hak karyawan yang seluruhnya harus diurus dan dilunasi Rp 87,7 miliar.
Ketiga, gugatan dari PT Nata Meridian Investara yang mengajukan pembatalan perdamaian yang disahkan pada 1 Juni 2017. PT Nata Meridian Investara merupakan kreditur yang memiliki piutang sebesar Rp 89 miliar. Pihak penggugat yakni Direktur PT Nata Meridian Investara Darmawan pernah memimpin Nyonya Meneer pada periode 2009-2013.
Juru bicara PT Nyonya Meneer Erni Widiyaningrum pernah mengatakan tunggakan pajak hingga Rp 20 miliar, terjadi ketika kepemimpinan Darmawan. "Seharusnya tunggakan pajak tersebut tanggung jawab beliau," kata Erni seperti dikutip dari Antaranews pada 15 Maret 2015.