Sengketa Lahan, Satu Stasiun MRT Jakarta Terancam Tak Beroperasi

Pembangunan stasiun bawah tanah MRT Jakarta di Kawasan MH Thamrin, Jakarta.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
5/7/2017, 20.27 WIB

Pekerjaan poyek moda transportasi mass rapid transit (MRT) Fase I yang menghubungkan rute Bundaran HI - Lebak Bulus, terkendala sengketa di 26 bidang lahan. Sengketa lahan yang masih berlarut membuat  PT MRT kemungkinan kehilangan satu dari 13  stasiun yang telah direncanakan. 

Dari 26 titik sengketa lahan terdapat empat bidang lahan yang berada di lokasi pembangunan Stasiun Haji Nawi di kawasan Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Akibatnya pihak MRT tak dapat membangun tiang pancang untuk kontruksi stasiun.

Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta, Silvi Halim mengatakan, bila sengketa lahan tak kunjung selesai, maka kemungkinan stasiun tak dapat dioperasionalkan saat MRT Jakarta diluncurkan pada Maret 2019.  "Sehingga pada Maret 2019 kalau lahan masih bermasalah, kereta bisa bawa, tapi tidak berhenti di Stasiun Haji Nawi," ucap Silvi di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta, Rabu (5/7).

Proyek MRT Fase I direncanakan dibangun 13 stasiun, yakni tujuh stasiun layang dan enam stasiun bawah tanah. MRT diperkirakan memiliki waktu tempuh sekitar 30 menit untuk jarak yang menghubungkan antara Bunderan HI dengan Lebak Bulus.

(Baca: MTR Academy Hong Kong Akan Bantu Siapkan SDM MRT Jakarta)

Di luar kendala pembangunan StasiunHaji Nawi, Silvi mengatakan pekerjaan konstruksi dan pengerjaan proyek tetap sesuai jadwal. "Struktur track kereta bisa diselesaikan. Kami fokuskan dan pastikan diselesaikan sesuai dengan jadwal. Selama ini kami bisa selesaikan, maka tidak akan mempengaruhi konstruksi MRT," kata Silvi.

Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar mengatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 14 Juni 2017 mengabulkan sebagian gugatan pemilik lahan dengan mewajibkan Pemprov DKI Jakarta membayar ganti rugi sebesar RP 60 juta per meter persegi.

Pemilik lahan sebelumnya menggugat Pemprov DKI Jakarta untuk membayar ganti rugi lahan sebesar Rp 150 juta per meter persegi atau lima kali lipat dari tawaran Pemprov Jakarta sebesar Rp 30 juta per meter persegi.

Kini, PT MRT masih menunggu keputusan banding yang diajukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait sengketa lahan. Keputusan inkracht atau berkekuatan hukum tetap ditunggu agar pembebasan lahan dapat dilakukan. 

(Baca: Kemenhub Ingin Kembangkan Transportasi Kanal dan MRT Jakarta)

Per 30 Juni 2017, pembangunan proyek MRT fase I mencapai 74,89 persen. William menuturkan, saat ini pekerjaan konstruksi depo dan struktur layang (elevated section) telah mencapai 62,42 persen. Sementara, pekerjaan konstruksi untuk jalur bawah tanah (underground section) telah mencapai 87,58 persen.

"Progress status kami tetap berjalan dengan baik," kata William.

William menuturkan, saat ini pihaknya telah berada pada tahap pelebaran jalan dan pembangunan interior stasiun. Pihak kontraktor, lanjut William, mulai melakukan pemasangan keramik, plafon, dan kelistrikan.

"Di stasiun ini sudah mulai ada pemasangan. Sudah seperti itu per hari ini," kata William.

Dengan perkembangan pembangunan yang saat ini terjadi, William pun optimistis jika pengerjaan fisik proyek tersebut akan selesai pada Juli 2018. Sementara, integration test dan commisioning akan dilakukan empat bulan kemudian.

"Lalu kami akan trial run di bulan Desember 2018. Sehingga operasi kereta itu bisa kami laksanakan di awal Maret 2019. Masih sesuai jadwal," kata dia.

(Baca: Pembangunan MRT Terganjal Pembebasan 26 Bidang Tanah