Asosiasi Pengusaha Indonesia menyatakan akan fokus menjual produknya ke pasar-pasar nontradisional seperti Timur Tengah dan Afrika, selain memperkuat pasar Asia Tenggara. Ini dikarenakan pasar yang biasa mereka sasar, yakni Amerika Serikat (AS) dan Eropa tengah dilanda ketidakpastian ekonomi, lantaran perkembangan politik daerah tersebut belakangan ini.
“Jadi sebenarnya Indonesia sudah mulai ke pasar non tradisional. Eropa dan Amerika dengan banyak uncertainty, (pasar ekspor) memang harus dialihkan. Kemana, contohnya middle east, terutama produk halal kita. Juga Afrika, opportunity-nya sangat besar,” kata Ketua Apindo Bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Widjaja Kamdani di kantornya, Jumat (3/2).
Salah satu contohnya adalah Iran, sebagai salah satu pasar di Timur Tengah yang cukup menjanjikan. Jika melihat nilai perdagangan tahun lalu, dalam delapan bulan saja nilainya mencapai US$ 150 juta. Bahkan sepanjang 2015, nilai perdagangan ke Iran mencapai US$ 273,1 juta. Apindo menyambut baik langkah pemerintah membangun kembali kerjasama dagang dengan negara tersebut. Selain nilainya yang besar, para pengusaha di Indonesia pun sangat berminat berdagang ke Iran.
Di sisi lain, Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan ketidakpastian global, terutama terkait dengan kebijakan Presiden AS Donald Trump dan Brexit di Uni Eropa, menjadi momentum membenahi pasar domestik. Pemerintah dan pengusaha seharusnya bisa lebih fokus meningkatkan konsumsi dalam negeri. (Baca: Efek Trump, Ekspor Produk Pangan ke Amerika Bisa Meningkat)
Adapun, dari sisi ekspor ia menyarankan untuk memperkuat posisi di kawasan Asia Tenggara. Apalagi jika menimbang aspek keterjangkauannya secara geografis. Sebagai catatan, kontribusi ekspor Indonesia ke Asia Tenggara pada periode Januari sampai Agustus 2016 mencapai porsi sebesar 21,89 persen. Bandingkan dengan ekspor pada periode yang sama ke Uni Eropa sebesar 11,09 persen, AS 12,31 persen, Cina 10,06 persen, Jepang 10,14 persen, dan India 7,17 persen.
"Kita harus serius garap pasar Asia Tenggara dan domestik. Jadi, pasar Asia Tenggara itu lebih mudah dijangkau dari Indonesia," kata Hariyadi. (Baca: Dorong Industri Kecil Tembus Pasar Dunia, Pemerintah Bebaskan Pajak)
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga memiliki pandangan yang sama dengan dengan pelaku usaha, terkait kondisi perekonomian global saat ini. Selain ketidakpastian kebijakan politik dan suku bunga AS, perekonomian Cina, dan Brexit di Eropa juga berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia.
Dia juga melihat saat ini telah terjadi perubahan signifikan dalam perekononomian global. Sebelum krisis 2008, perekonomian dunia didominasi oleh perdagangan global. Perusahaan-perusahaan memiliki jaringan rantai pasokan di seluruh negeri. Namun, setelah krisis 2008 tren rantai pasokan dan rantai nilai global mengalami stagnasi dan hanya mampu berkontribusi separuh dari total perdagangan dunia.
“Global value chain itu stagnan. Mereka inginnya sekarang semua produksi di satu tempat. Ini tren yang harus kita waspadai, pengusaha harus berpikir, di mana letaknya dalam global value chain ini” katanya.