Pemerintah akhirnya menyepakati revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 dan 53 tentang telekomunikasi. Melalui revisi tersebut, pemerintah menerapkan ketentuan baru tentang network sharing atau pembangunan dan pengelolaan jaringan bersama antar-operator telekomunikasi serta penurunan tarif interkoneksi. Tujuannya agar bisnis telekomunikasi lebih efisien. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan, sebetulnya revisi peraturan sudah disepakati berbagai pihak. Namun, belakangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengirimkan surat ke Sekretariat Negara (Setneg). Ia meminta agar usulannya bisa ditambahkan dalam revisi peraturan tersebut.

"Oke, kita tambahkan satu ayat, bahwa nanti untuk menghitung sharing itu, chart-nya itu ada pihak independen," ujar Darmin usai rapat pembahasan revisi PP tersebut di Jakarta, Jumat (4/11).

Namun, ia enggan membuka pihak independen yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan valuasi. Menurutnya, itu urusan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

Menurut Darmin, langkah itu diambil agar operator telekomunikasi BUMN, yaitu PT Telekomunikasi Indonesia, sebagai pemilik infrastruktur telekomunikasi terbanyak tak merasa dirugikan. "Supaya Telkom-nya tetap untung, untungnya tetap menarik, sementara yang ikut sharing tetap dapat (keuntungan)," ujarnya. 

Dengan kesepakatan tersebut, pembahasan revisi peraturan telekomunikasi telah selesai. Namun, Darmin menjelaskan, pemerintah harus lebih dahulu menyelesaikan hal-hal teknis dalam aturan tersebut sebelum diterbitkan.

Sekadar infromasi, Rini sempat mengatakan, pihaknya menyepakati revisi aturan tersebut, dengan syarat tarif interkoneksi di daerah yang sulit terjangkau diselesaikan antar-operator secara business to business (b to b). Jadi, tarifnya bukan ditetapkan oleh pemerintah. 

(Baca juga: Rini Minta Tarif Interkoneksi di Daerah Ditentukan Antar-operator)

Menurutnya, skema business to business tersebut diperlukan agar Telkom mendapatkan keadilan. Sebab, cuma operator telekomunikasi pelat merah tersebut yang selama ini berani berinvestasi membangun infrastruktur telekomunikasi hingga ke ujung Indonesia. Sedangkan operator lain enggan berinvestasi di wilayah serupa karena ongkosnya mahal dan secara bisnis belum menguntungkan.

"Kami mengusulkan, tolong dong kalau daerah itu ongkosnya lebih mahal, umpamanya kita (Telkom) taruh di Papua, kalau ada yang mau menggunakan interkoneksi di Papua itu hitungannya harus b to b," kata Rini, Kamis (3/11).

Ditemui usai rapat dengan Darmin Jumat ini (4/11), Rudiantara memaparkan, dalam revisi PP Nomor 53, pemerintah membuka diri kepada para investor yang ingin membangun jaringan atau infrastruktur telekomunikasi di berbagai daerah, baik bangun sendiri ataupun bermitra dengan perusahaan lain. Adapun akses kepada pelanggan akan ditentukan secara bussiness to business. 

Sementara itu, dalam revisi PP Nomor 52, pemerintah mengatur skema sharing network ini bisa berlaku adil dan trasparan dengan memperhitungkan investasi yang sudah dilakukan. Jadi, jika sudah ada operator seluler yang membangun infrastruktur, operator seluler lainnya boleh menggunakan, namun, perhitungannya harus berdasarkan daerah dan investasi yang sudah dikeluarkan.

"Jadi, tata cara perhitungannya berapa harus bayarnya harus memperhitungkan biaya yang telah diinvestasikan," ujarnya. Ketentuan-ketentuan tersebut sudah mempertimbangkan usulan Menteri Rini. (Baca juga: Tarif Interkoneksi Turun, Negara Dinilai Bisa Rugi Rp 6 Triliun)

Rudiantara berharap, revisi peraturan tersebut dapat mempercepat pembangunan sektor telekomunikasi. Pemerintah menargetkan sektor telekomunikasi dapat tumbuh double digit pada 2018.