Pelaku usaha angkutan roda empat berbasiskan aplikasi online tengah berusaha memenuhi semua persyaratan sebelum batas waktu 31 Mei mendatang agar dapat beroperasi secara legal. Kementerian Perhubungan menilai, Uber dan Grab Car menunjukkan kemajuan pesat dalam memenuhi persyaratan tersebut.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pudji Hartanto mengatakan, kemajuan angkutan online ini dalam menyelesaikan persyaratan perizinan usaha sudah cukup baik. "Yang termonitor Uber dan Grab. Saya lihat dua minggu lalu sudah memenuhi. Sudah sampai 80 persen," katanya saat acara temu media di Jakarta, Rabu (27/4).
Namun, dia tidak mengetahui pasti persyaratan apa saja yang sudah dipenuhi kedua penyelenggara angkutan online tersebut. Sebab, pengajuan izinnya melalui Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Menurut Pudji, semua angkutan yang berbasiskan aplikasi online harus memenuhi persyaratan untuk memperoleh izin agar menjadi angkutan yang legal. Batas akhir pemenuhan persyaratannya sampai 31 Mei 2016. Apabila tidak terpenuhi, maka kendaraan yang digunakan dilarang beroperasi. Namun, tidak menutup kemungkinan perpanjangan waktu pengurusan kalau alasannya memang patut dipertimbangkan.
Sebelumnya, Uber dan Grab Car mendapat cap ilegal karena tidak termasuk dalam kategori angkutan penumpang. Ketentuan ini mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan. Berdasarkan UU tersebut, hanya taksi dan mobil sewaan yang merupakan angkutan penumpang tanpa trayek.
(Baca: Pemerintah Akan Kontrol Tarif Uber dan Grab Car)
Meski ilegal, Kementerian Perhubungan tidak memiliki kewenangan memblokir aplikasi layanan online untuk angkutan transportasi. Kementerian hanya bisa memberi masa transisi bagi Uber dan Grab Indonesia untuk memenuhi dan mengikuti aturan yang berlaku. Selama masa transisi hingga 31 Mei mendatang, status quo diberlakukan bagi para penyedia layanan transportasi ini. Jadi, mereka tidak boleh menambah armada namun tetap boleh beroperasi kalau armadanya sudah terdaftar.
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tersebut, ada lima persyaratan usaha angkutan umum. Pertama, kendaraan angkutan umum harus berbadan hukum. Kedua, penyelenggara angkutan umum harus memiliki izin angkutan. Ketiga, setiap kendaraan yg dijadikan angkutan harus melalui pengujian. Keempat, kendaraan itu harus menggunakan STNK yang sesuai dengan badan hukumnya. Kelima, pengemudi harus memiliki SIM umum.
Berdasarkan beleid itulah dan merebaknya kontroversi keberadaan angkutan berbasiskan aplikasi online, pemerintah menelurkan Peraturan Menteri No. 32 Tahun 2016 pada 1 April lalu. Aturan yang baru mulai berlaku 1 Oktober mendatang itu terkait dengan penyelenggaraan angkutan dengan kendaraan bermotor tidak dalam trayek.
(Baca: Pemerintah Ancam Grab dan Uber Urus Izin Sebelum 31 Mei 2016)
Ada empat perizinan yang harus dipenuhi, antara lain izin operasi, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), kepemilikan pool, serta perawatan rutin. Jika empat izin ini sudah dikantongi maka penyedia angkutan berbasiskan aplikasi online dapat beroperasi secara legal.
Pudji mengakui, ada beberapa persyaratan dalam peraturan menteri itu yang memberatkan para pelaku usaha. Antara lain, pengemudi harus memiliki minimal lima kendaraan yang disatukan dalam badan usaha tersebut. Artinya, STNK kendaraan harus atas nama badan usaha. "Maka harus dibuat perjanjian di atas materai. Ini semua akan berkoordinasi dengan Polri," ujarnya.
Selain itu, kendaraan harus menjalani uji kelayakan (KIR), membayar pajak baik pajak kendaraan maupun pajak penyedia aplikasi online. Lalu, memiliki tempat penyimpanan kendaraan (pool) minimal berupa garasi rumah. Pemilik kendaraan juga harus memiliki fasilitas perbaikan kendaraan atau bengkel, Namun, bisa bekerja sama dengan bengkel resmi yang sudah ada.
(Baca: Grab dan Uber Diminta Gandeng Operator Resmi)
Di sisi lain, perusahaan penyedia angkutan berbasikan aplikasi online tidak diperkenankan menetapkan tarif dan memungut bayaran, merekrut pengemudi, dan menentukan besaran penghasilan pengemudi. "Tarif ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penyedia aplikasi dengan pemilik kendaraan," ujar Direktur Angkutan dan Multimoda Cucu Mulyana.
Selain itu, perusahaan penyedia angkutan online harus melaporkan profil perusahaannya, memberikan akses pengawasan operasional pelayanan data seluruh perusahaan angkutan umum yang bekerja sama, data seluruh kendaraan dan pengemudi. Lalu, menyediakan layanan pelanggan berupa telepon, e-mail, dan alamat kantor.
Jika perusahaan tersebut tidak memenuhi ketentuan yg berlaku, Kementerian Perhubungan akan membekukan operasionalnya selama 30 hari. “Apabila saat sudah diberlakukan kembali melakukan pelanggaran, maka kartu pengawasan akan dicabut. Tidak boleh beroperasi lagi," ujar Cucu.