KATADATA - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tengah meminta klarifikasi terkait kabar penutupan pabrik Panasonic dan Toshiba di Indonesia karena berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya. Bahkan, BKPM telah menyiapkan langkah dan bantuan untuk mengatasi dampak lanjutan dari persoalan tersebut.
Kepala BKPM Franky Sibarani menyatakan, rencana PHK itu terkait dengan keputusan manajemen Toshiba dan Panasonic yang melakukan aksi korporasi untuk penyesuaian pasar produknya. Keputusan itu secara tidak langsung tentu berdampak kepada para karyawan. “Aksi korporasi ini memang terkait dengan ketenagakerjaan,” katanya di Jakarta, Kamis (4/2).
Sebagai lembaga yang mengeluarkan izin investasi bagi pemodal asing di Indonesia, BKPM akan mengirimkan surat formal ke manajemen Panasonic dan Toshiba. Surat itu untuk meminta kejelasan informasi terkait dengan kabar penutupan pabrik dua perusahaan elektronik asal Jepang tersebut. Bermodalkan penjelasan resmi itu, BKPM akan dapat memfasilitasi Panasonic dan Toshiba untuk meningkatkan daya saingnya. “Misalnya mendorong adanya kebijakan yang dibutuhkan seperti ketersediaan gas dan pemberlakuan SNI melalui koordinasi dengan Kementerian Perindustrian dan kementerian teknis lainnya,” kata dia.
(Baca: Isu PHK, Panasonic Akui 425 Karyawan Terdampak Restrukturisasi)
Menurut Franky, BKPM pernah melakukan fasilitasi semacam itu untuk sektor tekstil dan sepatu melalui pembentukan Desk Khusus Investasi Tekstil dan Sepatu. Desk khusus tersebut beranggotakan berbagai kementerian, seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Perdagangan. “Desk tersebut dibentuk untuk fasilitasi investor tekstil dan sepatu existing yang mengalami permasalahan sehingga dapat mencegah terjadinya PHK,” katanya.
Bahkan, BKPM juga dapat melakukan penyaluran tenaga kerja kedua perusahaan itu jika memang terjadi PHK. Kemudian, para karyawan tersebut dihubungkan dengan investor yang sedang melakukan konstruksi dan membutuhkan tenaga kerja. Ia mencontohkan investor elektronik dari Cina yang sedang konstruksi di Tangerang dan rencananya menyerap 1.500 tenaga kerja. “Atau investor sektor tekstil di Jawa Tengah yang sedang kesulitan mencari tenaga kerja,” kata Franky.
(Baca: PHK Merebak, Menteri Darmin: Bukan Karena Ekonomi Melambat)
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menyatakan, penutupan pabrik Toshiba dan Panasonic disebabkan oleh adanya merger antarpabrik. Alhasil, perusahaan mengalami kelebihan jumlah karyawan. "Jadi tutupnya mereka karena konsolidasi, mereka memilih pabrik lain mana yang bisa menjalankan," ujarnya.
Seperti diketahui, Panasonic secara global telah merestrukturisasi industri lampu untuk mengantisipasi perkembangan kemajuan teknologi dan situasi pasar di kawasan Asia Pasifik. Konsekuensinya Panasonic Indonesia menggabungkan dua unit usaha yang terdiri atas tiga pabriknya yang berlokasi di Rembang (Jawa Timur), Cileungsi (Jawa Barat), dan Cikarang (Jawa Barat).
(Baca: Chevron PHK Ribuan Karyawan di Indonesia)
Pasca aksi korporasi tersebut, Panasonic menjalankan produksi di dua unit lokasi kerja yaitu di Rembang dan Cileungsi. Sedangkan pabrik di Cikarang ditutup. Alhasil, 425 karyawan di pabrik Cikarang terkena dampak kebijakan tersebut. Ada tiga opsi yang bisa dipilih karyawan. Pertama, tetap bergabung dan mengikuti aturan perusahaan untuk mendukung proses produksi di Rembang atau Cileungsi. Kedua, bergabung dalam kelompok usaha Panasonic Gobel sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing. Ketiga, memilih mengundurkan diri untuk berwiraswasta.
Selain itu, beredar pula kabar penutupan pabrik Toshiba di Indonesia yang berujung pada PHK terhadap ratusan karyawannya. Hal ini ditengarai akibat strategi global Toshiba Corporation di Jepang yang melakukan restrukturisasi terhadap sekitar 7.800 karyawannya di seluruh dunia. Restrukturisasi yang diumumkan Desember tahun lalu itu termasuk menjual pabrik televisi dan mesin cuci Toshiba di Indonesia kepada perusahaan asal Hong Kong, Sky Worth, senilai 3 miliar yen.