Neraca Dagang Terancam Defisit Tahun Depan

Arief Kamaludin | Katadata
Penulis: Yura Syahrul
11/12/2015, 16.37 WIB

KATADATA - Neraca perdagangan Indonesia terancam defisit lagi pada tahun depan. Ada dua faktor yang mengancam neraca dagang Indonesia, yaitu anjloknya harga minyak mentah dan perlambatan ekonomi Cina.

Tanda-tanda ancaman tersebut sudah terlibat dari kebijakan bank sentral Cina (People’s Bank of China/PBoC) melakukan devaluasi mata uang renminbi. Dua hari lalu (9/12), PBoC melemahkan renminbi sebesar 0,02 persen ke level RMB 6,42 per dolar AS. Jika dihitung sejak Dana Moneter Internasional (IMF) memutuskan memasukkan mata uang Cina ini dalam keranjang cadangan valasnya pada 1 Desember lalu, renmimbi sudah melemah 0,5 persen terhadap dolar AS.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Bobby Hamzar Rafinus menuturkan, devaluasi renminbi bakal menyebabkan harga produk-produk Cina lebih kompetitif alias murah. Alhasil, barang-barang dari Negeri Panda itu akan menyerbu masuk ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Alhasil, impor barang dari Cina akan semakin besar sehingga menyebabkan defisit neraca dagang kian membengkak.

Namun, Bobby belum bisa memperkirakan berapa besar dampak devaluasi tersebut terhadap defisit neraca dagang Indonesia dengan Cina. “Saya belum tahu. Tapi setiap langkah devaluasi itu meningkatkan daya saing dari barang produk Cina,” katanya di Jakarta, Jumat (11/12).

Adapun untuk neraca dagang bulan November lalu, Bobby masih berharap dapat mencetak surplus. Optimisme itu dilatari oleh penurunan impor yang lebih dalam ketimbang ekspor sepanjang bulan lalu. Namun, dia memperkirakan, angka surplusnya tidak terlalu besar. “Ada infrastruktur dan manufaktur mulai bergerak dibandingkan kuartal lalu sehingga meningkatkan impor,” imbuhnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2015 mengalami surplus US$ 1,01 miliar. Nilai ekspor mencapai US$ 12,08 miliar atau turun 4 persen dari bulan sebelumnya, sedangkan impor US$ 11,07 miliar atau turun 4,27 persen dari September 2015.

Adapun ekspor nonmigas Indonesia ke Cina pada Oktober 2015 mencapai US$ 1,09 miliar sedangkan nilai impornya sekitar US$ 2,32 miliar. Artinya, defisit dagang Indonesia dengan Cina mencapai US$ 1,23 miliar. Kalau dihitung sejak Januari hingga Oktober 2015, impor nonmigas dari Cina mencapai US$ 24,92 miliar atau dua kali lipat lebih besar dari nilai ekspor Indonesia ke negara tersebut sebesar US$ 11 miliar.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga melihat, tantangan utama perekonomian Indonesia tahun depan adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina. Padahal, Cina merupakan mitra dagang utama Indonesia. Menurut dia, permintaan komoditas dari Cina akan berkurang. Kondisi ini diperparah oleh tren penurunan harga komoditas.

Faktor lain yang menekan neraca perdagangan, yakni kebijakan pemerintah mendorong pembangunan infrastruktur. Hal ini akan meningkatkan impor barang modal dan bahan baku. Josua memperkirakan, impor akan meningkat memasuki paruh kedua tahun depan. Namun, dia menghitung kenaikan impor tersebut tidak akan signifikan menekan neraca dagang. Sebab, kontribusi impor barang modal terhadap neraca dagang hanya 10 persen.

“Di Semester II tahun depan saya lihat impor meningkat, jadi (neraca dagang) berpotensi kembali defisit,” katanya kepada Katadata. Defisit neraca dagang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tahun depan. Karena itu, Josua berharap pemerintah harus mulai menentukan langkah untuk mencari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi lain.

Reporter: Desy Setyowati