KATADATA - Dugaan korupsi di tubuh PT Pelindo II yang disidik kepolisian sempat membuat gaduh suasana politik nasional. Direktur Utama PT. Pelindo II Richard Joost Lino memprotes penggeledahan ruangannya oleh aparat pada akhir Agustus lalu. Karena perlawanan ini, sebagian publik menilai ia memiliki orang kuat di belakangnya. Ada yang menyebut tokoh tersebut adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Namun, Jusuf Kalla mengatakan bukan sosok berpengaruh di balik Lino. JK, demikian dia kerap disapa, menekankan dirinya adalah Wakil Presiden yang posisinya berada di depan Lino. Dia pun membandingkannya dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil yang sama-sama berada pada posisi di bawahnya.
“Saya dianggap beking-nya Lino, tidak benar itu. Beking itu orang kuat di belakangnya, saya itu posisinya di depan Lino,” kata JK dalam acara Tempo Economic Briefing di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa, 17 November 2015. Ketika terjadi penggeledahan, Lino memang sempat menelpon Sofyan meminta dukungan.
Sebagai direksi badan usaha milik negara, JK memuji Lino yang berani mengambil risiko. Oleh sebab itu dia berharap tidak ada direksi maupun pengambil kebijakan yang ditangkap oleh aparat penegak hukum, apalagi bila masalahnya terkait administrasi. (Baca juga: Lino Anggap Kereta Tak Efektif Distribusikan Kontainer).
Menurut JK, bisnis merupakan dunia yang memiliki risiko cukup besar terutama bila ingin mencapai sasaran pembangunan yang juga besar. Oleh sebab itu, para pucuk pimpinan diharapkan tidak takut atas terganjal hukum. “Kalau seperti Lino takut, saya khawatir semua (direksi) akan ketakutan. Bisa tidak ada kebijakan nanti,” ujarnya.
Karena itu, ketika mengetahui masalah tersebut, JK menelepon Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri saat itu, Budi Waseso. Dalam kasus tersebut, polisi menduga ada korupsi di Pelindo II dalam pengadaan 10 crane. Namun, pemerintah khawatir hiruk-pikuk ini kembali memberi sinyal negatif ke pasar di saat rupiah menunjukkan penguatan setelah terjerembab hingga Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat.
Presiden Jokowi pun terusik dengan ribut-ribut soal ini. Sebab, dalam percakapan telponnya dengan Sofyan Djalil, Lino menyatakan akan mundur dari jabatannya jika pemerintah tak segera ambil tindakan. “Kasi tahu Presiden, Pak, kalau caranya begini saya berhenti saja besok,” Lino mengancam saat penggeledahan.
Pada akhirnya, Budi Waseso dicopot dari Kabareskrim. Namun, dia menyangkal telah memmbuat kegaduhan. “Saya kan tidak pernah buat gaduh. Soal berita, itu dari teman-teman wartawan.” ujarnya ketika itu. (Baca: Sederet Kontroversi di Tangan Waseso).
Atas kegaduhan tadi, Dewan Perwakilan Rakyat lalu membentuk Panitia Khusus Pelindo II. Mereka lalu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit investigatif secara menyeluruh terhadap kinerja perusahaan tersebut. Audit terutama ditujukan terhadap pembangunan pelabuhan Kalibaru. Proyek senilai Rp 25 triliun ini dianggap rentan terjadi pelanggaran.
Ketua Pansus Rieke Diah Pitaloka menyoroti sejumlah potensi pelanggaran tersebut terutama dari sisi pembiayaannya. Untuk proyek ini, Pelindo II telah menerbitkan obligasi berdenominasi dolar atau global bond senilai US$ 1,6 miliar. Obligasi perdana yang diterbitkan pada April lalu ini dibagi dalam dua seri. Seri pertama senilai US$ 1,1 miliar dengan bunga bunga 4,25 persen. Seri kedua senilai US$ 500 juta dengan bunga 5,375 persen. Selain itu, Pelindo II juga mendapat pinjaman kerja dari luar negeri sebesar US$ 1,25 miliar.
Pembiayaan sebanyak ini perlu dievaluasi berdasarkan kebutuhan dan kemampuan Pelindo II. Jika terjadi pelanggaran, akan berpotensi menimbulkan kerugian negara. Makanya, Rieke meminta audit investigasi dilakukan menyeluruh, mencakup studi kelayakan, izin lingkungan, izin dari Otoritas Pelabuhan, serta pengadaan barang dan jasa selama pembangunan pelabuhan Kalibaru tersebut. “Kami meminta agar BPK melakukan evaluasi mengenai potensi kerugian negara dari hal ini,” ujar Rieke.
Anggota VII BPK Achsanul Qasasi mengatakan audit investigasi proyek Pelabuhan Kalibaru membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pasalnya, proyek tahap pertama senilai Rp 25 triliun ini adalah proyek besar yang terdiri dari berbagai macam detail yang rinci. “Proyek ini luasnya 20 hektare dan ada di tengah laut, tiangnya saja ada 2.000 unit. Tapi karena ini adalah amanat Pansus, akan kami jalankan,” kata Achsanul.
Menanggapi hal tersebut, Lino meyakini BPK akan bersikap profesional dalam melakukan audit. Bahkan, dia mengklaim sebagai dirut BUMN pertama yang berani meminta BPK melakukan audit terhadap kinerja operasional Jakarta International Container Terminal (JICT). “Silakan saja kalau BPK mau audit, bahkan soal JICT dulu juga saya yang meminta audit,” kata Lino di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, hari ini.
Menurutnya, perpanjangan konsesi JICT dengan Hutchison Port Holdings (HPH) merupakan hal biasa dalam bisnis. Oleh sebab itu dia meminta agar perpanjangan ini jangan dilihat secara negatif. “Untuk prosesnya sendiri kita tunggu BPK deh, mereka kan bekerja profesional,” kata Lino.