KATADATA ? Sosok menteri perindustrian di dalam kabinet mendatang diharapkan mampu melakukan pemetaan terhadap fokus industri nasional yang akan dikembangkan.
Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, mengatakan menteri perindustrian yang baru sebaiknya berasal dari kalangan pengusaha, terutama dari kalangan industrialis. Dia menilai selama ini Kementerian Perindustrian tidak jelas dalam menentukan arah pembangunan industri.
?Pemahaman menterinya terhadap pemetaan industri kurang. Mungkin karena bukan industrialis, melainkan dari kalangan real estate,? kata dia saat dihubungi Katadata, Senin (18/8).
Dia mencontohkan pada industri permesinan yang kurang berkembang karena kurang mendapatkan perhatian. Semestinya, kata dia, Indonesia memiliki banyak perusahaan yang membuat mesin-mesin yang akan dipakai untuk industri di dalam negeri.
?Seharusnya pabrik baja yang dibangun adalah yang langsung membuat mesin atau perkakas tooling. Bisa pabrik sekelas UKM (usaha kecil dan menengah) atau besar,? kata Ade.
Langkah ini, kata dia, dapat dimulai dengan bisa mengacu pada statistik industri yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), yakni dengan melihat nilai input dan output dari masing-masing sektor industri.
Selain itu, menteri perindustrian yang baru dapat menjalin koordinasi dengan kementerian lain, terutama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). ?Persoalan yang dihadapi industri saat ini menyangkut kepastian energi. Selain mahal, kapasitasnya pun terus berkurang,? kata Ade.
Sementara itu, Faisal Basri, ekonom dari Universitas Indonesia, menilai menteri perindustrian ke depan perlu melakukan restrukturisasi kebijakan bea keluar dan bea masuk. Kebijakan ini dinilai telah menghambat perkembangan industri dalam negeri.
Menurutnya, pelaku industri saat ini lebih memilih berdagang ketimbang mengolahnya sendiri. Dia mencontohkan, untuk membeli bahan baku pulpen dikenakan bea masuk sebesar 15 persen sedangkan jika mengimpor masuk pulpennya tidak dikenakan bea masuk.
Hal inilah, menurutnya, yang menyebabkan kontribusi sektor industri melemah terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi hanya 23,6 persen. ?Seharusnya naik dulu 35 persen baru turun. Kita baru 29 sudah turun. Jadi ada deindustrialisasi,? kata dia.
Saat ini pun, lanjutnya, sektor industri hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 14 persen dari seharusnya bisa mencapai 25 persen. Semua ini, menurutnya, karena kebijakan industrialisasi yang lemah.
?Restrukturisasi kebijakan bea keluar ini pasti dilalukan saat Pak Jokowi naik. Bisa kok itu dilakukan,? tuturnya.