Penjualan Turun 85% saat PSBB, Peretail Pangkas Target Pertumbuhan

ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR
Suasana di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Minggu (16/6/2019). Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) memangkas target pertumbuhan industri tahun ini hanya 4% dari 9% akibat menurunnya penjualan selama pandemi corona dan PSBB.
Editor: Ekarina
12/5/2020, 18.19 WIB

Pandemi corona yang diikuti penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) memukul sebagian besar pelaku usaha industri retail. Tutupnya mal atau pusat belanja, selama hampir  dua bulan terahir menyebabkan omzet peretail anjlok hingga 85%.

Akibat lesunya penjualan, target pertumbuhan  industri pun dipangkas dari yang sebelumnya 9%, kini direvisi menjadi tinggal 4%

 Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan, industri retail terus menghadapi  tekanan sejak kuartal pertama 2020. Di awali musim banjir  DKI Jakarta pada awal tahun yang mennyebabkan penjualan retail tergerus 40%.

(Baca: Kontrak Sewa Habis, Lotte Mart Ratu Plaza Akan Tutup 1 Juni 2020)

Tekanan berikutnya datang pada Maret hingga saat ini yang menyebabkan omzet penjualan peretail hilang 85% - 90%, terutama pada gerai-gerai yang berada dalam mal dan terdampak penutupan akibat PSBB.

Adapun penjualan retail melalui platform online pun menurutnya tak berdampak signifikan, karena hanya menyumbang 10-15% terhadap total transaksi gerai. 

Sedangkan katagori tak terdampak penutupan atau gerai yang berada di luar mal seperti supermarket, hypermarket dan minimarket, terjadi penuruna omzet sekitar 50% dibandingkan pada saat kondisi normal. Adapun pendapatan gerai ini masih bisa ditopang oleh penjualan makanan minuman dan kebutuhan pokok. 

(Baca: Pandemi Mengubah Lanskap Gerai Retail, Siapa yang Diuntungkan?)

"Akibat adanya wabah ini, maka kami merevisi ulang target pertumbuhan retail yang tahun lalu bisa antara 8,5% - 9%, tahun ini mungkin hanya di angka 4% - 5%" kata Roy kepada katadata.co.id, Selasa (12/5).

Pada kuartal II, penjualan retail pun diperkirakan masih akan lesu dengan penurunan omzet penjualan 60%.

Kenaikan Biaya Operasional 

Roy mengatakan, minimnya jumlah pengunjung  juga diperparah dengan tingginya beban operasional yang masih tetap berjalan seperti biaya listrik, pendingin udara, biaya penyemprotan desinfektan dan biaya alat pelindung diri (APD) bagi karyawan. Hal ini membuat gerai ritel kesulitan menjaga arus keuangan dan melanjutkan bisnisnya.

"Belum lagi biaya tambahan pengiriman barang, sekarang orang maunya dikirim barangnya. Itu ada biaya outsourcing, tenaga kerja, kurir atau juga kendaraannya. Jadi dalam suasana seperti ini yang pasti retail tidak terdampak langsung juga menurun omzetnya," kata dia.

Untuk menyelamatkan pelaku industri retail, Roy berharap pemerintah dapat memberikan kelonggaran dengan gerai mal yang ditutup sepekan menjelang Lebaran. Pasalnya, aturan larangan mudik dapat digunakan sebagai momentum mendongkrak penjualan, dengan tetap melaksanakan protokol pencegahan penularan virus corona.

(Baca: Terimbas Corona, Alfamart Gratiskan Biaya Sewa untuk UMKM Rp 15 Miliar)

Hal yang sama juga sebelumnya juga diungkapkan oleh Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyedia Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah yang meminta pemerintah memberikan kesempatan gerai-gerai mal untuk dibuka kembali sepekan menjelang Idul Fitri.

Menurutnya, permintaan tersebut telah dikomunikasikan kepada pemerintah secara informal. Namun, hingga saat ini belum mendapatkan tanggapan.

"Diharapkan bisa ada kebijakan Pemda di beberapa daerah atau pusat belanja di luar kota yang penyebarannya belum begitu banyak bisa dibuka seminggu sebelum Idul Fitri," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (27/4).

Reporter: Tri Kurnia Yunianto