Bertahan di Tengah Pandemi, Industri Farmasi Didorong Diversifikasi

KATADATA
Ilustrasi obat farmasi. Produsen obat untuk menyusun ulang strategi produksi di tengah pandemi corona.
Editor: Ekarina
23/6/2020, 20.25 WIB

(Baca: Pengusaha Farmasi Lihat Peluang Relokasi Pabrik Obat AS ke RI Kecil)

Oleh karena itu, Tirto meminta pengusaha tidak memproduksi obat-obatan yang minim permintaan. "Situasi penyakit di Indonesia sebenarnya belum banyak berubah, sebagian besar adalah infeksi karena pola hidup. Tapi barang kali pelan-pelan dengan hidup menjadi lebih bersih saat new normal dan infeksi akan berkurang," kata dia.

Dia juga memperkirakan bakal terjadi pergeseran tren penjualan melalui e-commerce dan B2B di era normal baru. Hal ini sesuai dengan imbauan pemerintah untuk physical distancing dan memepersingkat rantai distribusi. 

"Apotek dan toko obat yang ritel juga harus mengembangkan e-commerce, B2B dan bergabung dengan platform online yang memiliki B2B. Ini yang harus dilakukan setelah kita melihat situasi pandemi," katanya.

Tekanan pada industri farmasi tek berhenti di situ, sebelumnya GP Farmasi juga mengeluhkan besarnya utang pembelian obat rumah sakit yang mencapai Rp 4 triliun per bulan. Kondisi ini telah terjadi selama tiga tahun terakhir, dan tidak jelas penyelesaiannya.

Pengusaha telah berulang kali mengadukan permasalahan ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, para pengusaha selalu mendapatkan jawaban yang penuh ketidakpastian, sehingga kesulitan menjalankan bisnisnya. 

Adapun rumah sakit yang lebih sering melakukan penunggakan pembayaran obat yakni rumah sakit negeri yang mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sementara rumah sakit swasta jumlah tunggakannya lebih sedikit.

Halaman:
Reporter: Tri Kurnia Yunianto