Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo mencabut larangan ekspor benih lobster yang diterbitkan oleh pendahulunya, Susi Pudjiastuti. Kebijakan itu kini menuai kontroversi.
Dibukanya kembali keran ekspor benih lobster tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Menurut Edhy, dibukanya kembali ekspor benih lobster dilakukan semata demi menyejahterakan rakyat. "Kita libatkan masyarakat untuk bisa budidaya (lobster). Muaranya menyejahterakan," katanya dalam keterangan tertulis yang dikutip Rabu (8/7).
Ia memang memberikan beberapa syarat bagi pihak-pihak yang ingin mengekspor benih lobster. Hal itu khususnya dijabarkan dalam Pasal 5 Ayat 1. Yang mana, pengeluaran benih-benih lobster (puerulus) dengan harmonized system code 0306.31.10 dari wilayah Indonesia hanya dapat dilakukan dengan beberapa ketentuan.
Di antaranya, kuota dan lokasi penangkapan benih-benih lobster harus sesuai dengan hasil kajian dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN). Selain itu, eksportir harus melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat.
(Baca: Tak Lagi Tenggelamkan Kapal, Edhy Prabowo: Saya Tak Cari Popularitas)
Kemudian, ekspor benih lobster harus dilakukan melalui bandara yang telah ditetapkan oleh badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang karantina ikan. Benih lobster juga harus diperoleh dari nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan.
Selain itu, waktu ekspor dilakukan berdasarkan ketersediaan stok di alam. Kemudian, penangkap benih lobster ditetapkan oleh direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap.
Terakhir, eksportir harus terdaftar di direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap.
Sementara, Pasal 6 menyebutkan bahwa kegiatan ekspor benih lobster akan dikenakan kewajiban membayar bea keluar dan/atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk tiap satu ekor benih lobster.
Edhy menegaskan, tidak menutupi apapun dalam kebijakan ekspor benih lobster. Sebelum melegalkan ekspor benih lobster, KKP telah melakukan kajian mendalam lewat konsultasi publik.
Menurutnya, ekspor ini tidak hanya melibatkan korporasi tapi juga nelayan. “Karena penangkap benihnya kan nelayan. Terdapat 13.000 nelayan yang menggantungkan hidup dari mencari benih lobster," ujarnya.
(Baca: Edhy Prabowo Disorot Berikan Izin Ekspor Benih Lobster pada Politisi)
Edhy menegaskan, ekspor benih lobster juga tidak terus menerus dilakukan. Bila kemampuan budidaya di Indonesia semakin baik, otomatis benih yang ada dimanfaatkan sepenuhnya untuk kebutuhan pembudidaya di dalam negeri.
Seraya meningkatkan kapasitas budidaya lobster dalam negeri, Edhy ingin pemasukan bagi negara berjalan. Itulah sebabnya, ekspor benih lobster dikenakan pajak dan besarannya tergantung margin penjualan.
Sebagai informasi, larangan ekspor benih lobster sebelumnya berlaku pada era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Larangan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/Permen-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Ranjungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara Republik Indonesia.
Izin Perusahaan Politisi
Komisi IV DPR menyoroti Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo yang memberikan izin ekspor benih lobster kepada puluhan perusahaan, di antaranya termasuk milik kader Partai Gerindra.
Bagaimanapun, Edhy menyatakan, perusahaan yang mendapat izin ekspor harus melewati proses administrasi hingga uji kelayakan. KKP sendiri membentuk panitia untuk menyeleksi perusahaan penerima izin.
Edhy menjelaskan KKP telah mengumumkan 26 perusahaan yang mendapatkan izin. "Mungkin tidak lebih dari lima orang yang saya kenal, yang 26 orang itu semua orang Indonesia kebetulan salah satunya orang Gerindra," kata Edhy dalam rapat kerja bersama Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (6/7).
(Baca: Edhy Prabowo Beri Kesempatan 31 Perusahaan Ekspor Benih Lobster)
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan atau KIARA mengkritik dibukanya keran ekspor benih lobster. Sebab, beleid tersebut penuh dengan masalah, mulai dari kajian ilmiah, penetapan perusahaan ekspor yang tertutup, serta ketiadaan partisipasi nelayan dalam perumusan kebijakan ini.
“Keterlibatan sejumlah nama politisi partai politik, menambah daftar masalah lainnnya dari kebijakan Menteri Edhy ini,” kata Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati melalui siaran pers yang diterima Katadata.co.id.
Susan mengutip data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan yang menyebut perusahaan eksportir hanya membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 15.000 per 60.000 ekor benih. Jika perusahaan eksportir menjual benih Rp 139 ribu per ekor, dan membayar PNBP Rp 15.000, maka angka keuntungan perusahaan eksportir mencapai Rp 8,34 miliar.
"Pada titik inilah kebijakan ini hanya menjadikan benih lobster sebagai objek eksploitasi dari Kebijakan Menteri Kelautan, Edhy Prabowo,” kata Susan.
(Baca: Edhy Prabowo Ungkap Rencana Penghentian Ekspor Lobster dan Syaratnya)
Dilansir dari laporan Majalah Tempo, beberapa perusahaan yang diduga milik pejabat publik berdasarkan laporan KIARA yakni PT Nusa Tenggara Budidaya yang sahamnya dimiliki oleh Fahri Hamzah mantan politisi Partai Keadilan Sejahtera, PT Bima Sakti Mutiara milik Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, anak Hashim Djojohadikusumo, politisi Partai Gerinda.
Selain itu, ada pula PT Maradeka Karya Semesta milik Eka Sastra Anggota Komisi Perindustrian DPR RI tahun 2019-2024 yang merupakan Politisi Partai Golkar dan PT Agro Industri Nasional yang melibatkan Sakti Wahyu Trenggono, Wakil Menteri Pertahanan.
Ada pula Eko Djalmo Asmadi, Mantan Dirjen Pengawasan SDKP KKP pada PT Agro Industri Nasional, Sugiono Anggota Komisi Pertahanan DPR 2019-2024, petinggi Partai Gerindra melalui PT Agro Industri Nasional dan Dirgayuza Setiawan, merupakan Petinggi Partai Gerindra melalui PT Agro Industri Nasional.
Kemudian ada juga Hariyadi Mahardika, yang merupakan politisi Partai Gerindra sekaligus petinggi PT Agro Industri Nasional serta Simon Aloysius Mantiri, yaitu Politisi Partai Gerindra yang juga petinggi PT Agro Industri Nasional.