Pengusaha Minta Sawit Diperjuangkan dalam Perjanjian Dagang RI-Eropa

CPO KATADATA|Agung Samosir
Ilustrasi minyak sawit. Gapki mendesak pemerintah secara konsisten memasukan sawit dalam perjanjian dagang dengan Eropa.
Penulis: Ekarina
23/7/2020, 17.43 WIB

Pengusaha meminta pemerintah tetap menyertakan komoditas sawit dalam kerangka perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif Indonesia- Eropa (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IE- CEPA). Pemerintah dinilai sebagai ujung tombak perdagangan sawit yang terus mengalami hambatan dagang yang kian kompleks. 

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan, selama ini sekitar 70% produksi minyak sawit Indonesia dialokasikan untuk pasar ekspor. Beberapa negara yang permintaannya cukup besar di antaranya, India, Tiongkok, Uni Eropa, Amerika Serikat, Bangladesh, Timur Tengah dan Afrika.

Indonesia merupakan pemilik pangsa pasar utama untuk produk minyak sawit sebesar 53% diikuti Malaysia. Seiring dengan penguasaan pasar tersebut,ada pula konsekuensi berupa hambatan dagang.

Salah satu pasar utama yang kerap mengenakan hambatan ini adalah Uni Eropa, baik dengan isu kesehatan, deforestasi hingga keberlanjutan lingkungan. 

Oleh karena itu, perdagangan internasional harus jadi perhatian, terlebih lagi sawit merupakan salah satu penghasil devisa terbesar negara. 

"Jadikan perdagangan ini  sebagai panglima, sehingga segala hambatan dagang harus dihilangkan," kata Joko dalam diskusi virtual, Kamis (23/7).

Pemerintah hingga kini masih menjajaki kerja sama perdagangan IE CEPA dengan Uni Eropa. Namun, pembahasan ini terkesan alot. 

Ia menduga, alotnya pembahasan perjanjian dagang ini dikarenakan Eropa enggan memberi tempat bagi komoditas sawit dalam bagian poin perundingan trade and sustainability. 

Indonesia menurutnya sudah mengambil posisi yang benar memperjuangkan sawit. "Konsistensi ini yang harus dipertahankan, perdagangan harus jadi panglima untuk memenangkan pertarungan di pasar global yang makin complicated," katanya. 

Selain itu, dia juga mendorong pemerintah menggencarkan kerja sama antar-pemerintah dengan negara mitra atau G2G guna memperoleh deal bisnis. Namun, ini juga harus diperkuat dengan kehadiran pemerintah, dalam menyelesaikan hambatan dagang yang bersifat regulatif.

Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom bangun juga mengungkapkan, pandemi corona telah menyebabkan permintaan sawit terkontraksi. Alhasil, persaingan usaha pun semakin  ketat dengan negara penghasil minyak nabati lain.

Di tengah tantangan tersebut, dia pun meminta pemerintah melakukan sejumlah strategi. Misalnya, dengan menggencarkan promosi dan iklan tentang sawit baik, untuk menghalau isu dan kampanye hitam sawit.

Cara lain juga dengan menggencarkan penelitian, antara lain mengenao penghematan emisi karbon pada penggunaan bahan bakar nabati (BBN) sawit.

"Penelitian dengan menggandeng para peneliti kelas internasonal di negara lain agar diterima masyarakat dunia," ujarnya.

Seperti diketahui, sawit merupakan salah satu komoditas andalan Indonesia dan menjadi penyumbang devisa terbesar setelah batu bara. Berdasarkan data Kementerian Pertanian , pada 2019, produksi sawit (minyak sawit dan inti sawit) 2018 tumbuh 6,85% menjadi 48,68 juta ton dari tahun sebelumnya.

Jumlah produksi tersebut terdiri atas sawit dari perkebunan rakyat sebesar 16,8 juta ton (35%), perkebunan besar negara 2,49 juta ton (5%), dan perkebunan besar swasta 29,39 juta ton (60%). Produksi sawit nasional telah melonjak lebih dari 5.600% atau sekitar 144% per tahun.