Pulihkan Produksi Lokal, Pengusaha Minta Impor Tekstil Dibatasi

ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/wsj.
Warga memilih baju yang akan dibelinya di Pasar Rangkasbitung, Lebak, Banten, Sabtu (9/5/2020). Pengusaha (26/8) mendesak pemerintah membatasi impor tekstil.
26/8/2020, 14.46 WIB

Pengusaha tekstil mendesak pemerintah untuk membatasi impor pakaian jadi dan produk tekstil ke Indonesia. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas produksi yang hingga sekarang masih di bawah 50%.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan sejak dilonggarkannya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kapasitas produksi masih belum pulih. Kondisi ini diperparah pasar domestik yang tergerus produk impor sehingga berdampak penyerapan tenaga kerja yang belum optimal.

"Harusnya impor hanya untuk mengisi kekurangan produk dalam negeri, tapi bukan untuk menyirami pasar domestik," kata Ketua Umum API Jemmy Kartiwa dalam diskusi daring di Jakarta, Rabu (26/8).

Menurut dia, dengan populasi penduduk yang mencapai lebih dari 260 juta jiwa, Indonesia merupakan salah satu pangsa pasar terbesar dari produk tekstil dunia. RI berada posisi keempat dunia setelah Tiongkok, India dan Amerika Serikat (AS).

Kendati demikian, hanya Indonesia dan Nigeria yang masih belum menerapkan perlindungan terhadap produk impor atau safeguard baju jadi dan produk tekstil. Imbasnya, banjir produk impor pun tak terhindari yang menyebabkan industri dalam negeri kalah saing.

"Jangan sampai bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan pemerintah untuk membeli barang-barang impor," kata dia.

Jemmy menjelaskan sebenarnya revitalisasi peralatan telah dilakukan para produsen untuk memperbaiki daya saing produk tekstil. Namun, dengan jumlah tingginya jumlah impor yang menggerus pasar membuat upaya itu akhirnya gagal.

Kondisi tersebut membuat para pengusaha gulung tikar sehingga sebagian dari mereka memilih untuk beralih profesi sebagai importir. "Kalau semua jadi pedagang, maka pengangguran akan meningkat dan daya beli semakin turun lagi," kata dia.

Ketua Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Jawa Barat Ayi Karyana menjelaskan, membanjirnya tekstil impor sangat memprihatinkan. Bahkan sebaran produk asing ini telah terjadi dari industri hulu ke hilir.

Bahkan menurutnya para pemain impor ini merupakan pedagang yang memiliki modal kuat. "Mereka kebanyakan impor sendiri, jadi ini menyimpang dari aturan yang sudah diberlakukan," kata dia.

Berdasarkan penelusurannya, produk impor mayoritas berasal dari Tiongkok yang memiliki harga murah. Ayi mencontohkan, untuk membeli bahan kain dari sana hanya cukup merogoh kocek Rp 11.200 per meter. Lebih murah dari bahan produksi RI yakni Rp 13.000. "Untuk melakukan impor ke Indonesia itu jalan tikus dan mafianya banyak," kata dia.

Tiongkok merupakan eksportir tekstil dan produk tekstil (TPT) terbesar ke Indonesia. Pada 2018, volume impor TPT dari negara tersebut Tiongkok mencapai 4.392 ton.

Impor TPT dari Tiongkok pada 2017 sempat melonjak 123,29% mencapai 6.031 ton dibandingkan 2016 yakni 2.701 ton. Adapun nilai impor TPT asal Negeri Panda pada 2018 sebesar US$ 42,7 juta, meningkat 19,75% dari periode sebelumnya yang sebesar US$ 35,7 juta.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto