Pandemi Ubah Perilaku Belanja: Non-Pangan E-Commerce Naik, Mal Anjlok

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nz
Penjaga toko membersihkan produk dagangannya di Plaza Indonesia, Jakarta, Selasa (24/3/2020). Tren belan produk non-pangan ke online meningkat selama pandemi corona.
Penulis: Ekarina
8/10/2020, 19.30 WIB

Pandemi corona mengubah cara belanja konsumen, khususnya untuk produk non-pangan seperti pakaian, sepatu, kecantikan, furnitur dan lainnya. Survei Bank DBS mencatat, terdapat pergeseran signifikan terhadap prevelensi belanja masyarakat dari pertokoan sebelum wabah Covid-19 ke e-commerce saat  pandemi.

Bank DBS melakukan survei secara daring terhadap 545 responden dengan mayoritas responden di sekitar Jakarta (70%), Pulau Jawa luar Jakarta (17%) dan luar Jawa (13%). Survei dilakukan periode 18 Juni - 3 Juli 2020.

Hasil survei menunjukkan, minat masyarakat menggunakan  e-commerce melonjak tajam dari 24% sebelum Covid-19 menjadi 66% saat Covid-19. 

"Sedangkan jumlah masyarakat  yang memilih toko fisik atau mal sebagai lokasi berbelanja turun tajam dari 73% sebelumnya pandemi menjadi 24% pasca-corona," tulis survei tersebut dikutip Kamis (8/10).

Responden yang memilih situs web perusahaan dan sosial media sebagai pilihan berbelanja naik tipis selama corona berlangsung, masing-masing menjadi 6% dan 3%. 

Dengan demikian, perusahaan kini tidak dapat mengabaikan persaingan yang datang dari online. DBS menilai pentingnya peran e-commerce selama wabah dan mengharapkan kontribusinya terus berkembang pasca-corona.

"Kami menyarankan agar perusahaan mempercepat strategi omni-channel atau memulai kemitraan dengan platform e-commerce yang mapan," tulis riset tersebut.

Strategi Retail Offline

Strategi kolaborasi peretail offline dan online sebelumnya dilakukan Hypermart dan Transmart Carrefour. Kedua supermarket ini bekerja sama dengan e-commerce, media sosial dan aplikasi pesan guna mendorong penjualan.

Vice President Corporate Communications PT. Trans Retail Indonesia, Satria Hamid mengatakan telah berinovasi ke sejumlah platform digital. 

Perusahaan retail milik konglomerasi CT Corp ini telah membuat aplikasi bernama Transmart Delivery yang memungkinkan customer berbelanja kebutuhan hariannya dari rumah.

Transmart juga bekerjasama dengan beberapa e-commerce. Untuk pembelian produk kebutuhan harian varian food dan produk fresh dapat dilakukan melalui Happy Fresh, produk- penunjang gaya hidup atau pun home decor dengan brand Okidoki dan Trans Living bisa dibeli di Shopee.

Sementara itu, untuk beberapa kebutuhan harian kategori pangan dan non-pangan serta perkakas rumah tangga (produk harware) bisa dibeli melalui aplikasi Lazada. Tak hanya itu, adanya pandemi juga menjadikan perusahaan lebih menggencarkan startegi digital marketing.

"Secara rutin, kami melakukan engagement kepada pelanggan melalui akun resmi sosial media tentang promo di Instagram, Facebook hingga channel Youtube," katanya.

Pesaing Transmart di bisnis retail supermarket, PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) juga melakukan hal serupa. Pemilik gerai Hypermart, Foodmart dan Primo mulai berkolaborasi dengan e-commerce untuk menggaet lebih banyak pelanggan.

Head of Public Relations Matahari, Fernando Repi mengatakan, perubahan perilaku konsumen di masa pandemi harus segera diikuti perusahaan dengan memperkuat strategi omni-channel. Pendekatan pemasaran ini mengintegrasikan banyak kanal untuk memberikan pengalaman pelanggan secara efektif.

Sebelumnya omni channel Hypermart dilakukan melalui layanan aplikasi Chat& Shop melalui Whatsapp. Dengan kolaborasi bersama Shoppe, perusahaan retail milik Lippo Group ini dapat menempatkan toko virtual Hypermart, Foodmart, Primo dan Hyfresh untuk memberikan lebih banyak akses ke pelanggan.

"Ada sekitar 23 gerai di Jabodetabek siap mendukung kerja sama ini. Ke depan, perusahaan akan menambah lebih banyak gerai secara nasional ke platform Shoppe," kata Fernando kepada katadadata.co.id.

Kendati kontribusi platform digital terhadap total penjualan saat ini masih kecil atau 12%, namun tren terjadi peningkatan. Menurutnya, pada 2019-2020, tren penjualan melalui platform digital tumbuh 8%-9%.

Pengamat pemasaran dan bisnis dari Universitas Prastiya Mulya, Agus Soehadi mengatakan kolaborasi bukanlah hal baru dalam bisnis. Konsep ini sudah banyak digunakan, sebelum pandemi Covid-19.

Namun, dia menilai kolaborasi merupaakan strategi bisnis yang tak terhindarkan saat ini. Bahkan tren bisnis ke depan akan mengarah ke strategi ini. "Kolaborasi bahkan antar pesaing dalam suatu ekosistem dimungkinkan ke depan, bahkan bisa menjadi tren bisnis sebagai upaya memenuhi konsumen demand," ujarnya kepada katadata.co.id.

Meski demikian, untuk menjalankannya menurutnya tak mudah. Sebab, ada banyak sistem yang dibangun seperti rantai pasok (suplay chain).