Indonesia saat ini masih bergantung kepada impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kedelaidalam negeri. Hal ini lantaran produktivitas kedelai Indonesia yang rendah sehingga tidak mampu memenuhi permintaan yang tinggi.
Wakil Ketua 3 Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang menilai produktivitas dari petani kedelai masih lebih kecil dibandingkan dengan jagung dan padi. Menurutnya ada beberapa faktor mengapa Indonesia tidak meningkatkan produksi kedelai dalam negeri.
“Kedelai yang kita produksi itu kedelai yang kita makan kalau kita makan bubur, kecil-kecil banget. Bandingkan dengan kedelai pada tempe yang biasa kita makan besarnya seperti apa,” kata Togar pada webinar bertajuk Prospek Agribisnis Indonesia 2021, Rabu (10/3).
Selain itu, untuk memproduksi kedelai lokal dalam jumlah yang sama dengan jumlah yang diimpor membutuhkan lahan produksi yang lebih luas. Perbandingannya, apabila Indonesia mengimpor 1 ton kedelai, maka luas lahan yang dibutuhkan untuk memproduksi kedelai lokal dalam jumlah yang sama lima kali lebih besar
“Jadi biar saja kita mengimpor, karena pembukaan lahan 5 kali itu sudah sangat besar. Saya rasa dari segi ekonomi dan lingkungan ini gak make sense,” ujarnya.
Meski demikain, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai posisi Indonesia sebagai importir kedelai bisa mengkhawatirkan bagi keberlanjutan stabilitas harga kedelai karena persaingan dengan Tiongkok.
“Tiongkok betul-betul sedang bangun sehingga menyeret harga-harga komoditas menjadi lebih tinggi,” ujarnya pada kesempatan yang sama.
Seperti diketahui pada awal tahun ini bahan pangan yang terbuat dari kedelai seperti tahu dan tempe sempat langka di pasaran. Hal itu dikarenakan harga kedelai yang melonjak sehingga produsen tahu dan tempe berhenti berproduksi sementara.
Harga kedelai global meningkat, akibat lonjakan permintaan kedelai dari Tiongkok ke Amerika Serikat (AS) sebagai produsen kedelai terbesar di dunia. Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto mengatakan, pada Desember 2020 permintaan kedelai Tiongkok naik dua kali lipat, yaitu dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton.
Hal ini mengakibatkan berkurangnya kontainer di beberapa pelabuhan AS, seperti di Los Angeles, Long Beach, dan Savannah. Tingginya permintaan kedelai dari Tiongkok itu mengakibatkan hambatan pasokan terhadap negara importir kedelai lain termasuk Indonesia dan harga jual melonjak.
Pada Desember 2020, harga kedelai impor naik menjadi sekitar Rp 7.000 per kilogram (kg) dari yang sebelumnya hanya di kisaran Rp 9.200 per kg. Situasi ini membuat pelaku usaha menjerit lantaran biaya produksi melonjak dan kenaikan harga jual tak terhindarkan.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy menyatakan, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah kembali terjadinya lonjakan harga.
Koordinasi pemerintah dengan asosiasi pengusaha kedelai perlu dimaksimalkan untuk memastikan ketersediaan di lapangan dan mendeteksi lebih awal bila terjadi sinyal kenaikan harga.
“Untuk menjaga stabilitas pasokan kedelai di dalam negeri, pemerintah perlu mencari diversifikasi negara importir selain Amerika. Ini menjadi kebijakan yang perlu diperhatikan,” kata Yusuf kepada Katadata.co.id, awal tahun ini (4/1).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, AS merupakan importir kedelai terbesar Indonesia. Pada 2019, impor komoditas ini mencapai 2,51 juta ton diikuti Kanada sebanyak 128 ribu ton dan Malaysia sekitar 8 ribu ton.