Kinerja industri tekstil pada kuartal pertama tahun ini justru memburuk di tengah optimisme pemerintah terhadap pemulihan ekonomi. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebutkan, rata-rata tingkat utilisasi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) hanya mencapai 6o%, turun dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 70-80%.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil mengatakan, kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) belum pulih dari pukulan pandemi Covid-19. Selain permintaan yang masih lesu, maraknya penjualan pakaian impor juga mempengaruhi industri dalam negeri.
“Kami belum dapat memprediksi akan seperti apa kinerja tahun ini. Yang paling penting adalah adanya proteksi pasar dan menciptakan permintaan,” kata Rizal kepada Katadata, Selasa (27/4).
Ia menjelaskan, banyak produk pakaian impor dijual dengan harga sangat murah. Kondisi ini membuat produsen dalam negeri sulit bersaing. Tak heran, produk impor mendominasi pasar pakaian dalam negeri.
“Masyarakat kita kan rata-rata cari barang yang harganya murah. Kalau pasar berisi barang impor yang harganya murah, jelas produk kami tidak mampu bersaing,” kata dia.
Di sisi lain, menurut dia, kenaikan permintaan menjelang Lebaran pada tahun ini tak signifikan. Permintaan lebih banyak datang di industri hilir untuk produk tekstil tertentu, seperti sarung dan gamis.
Rizal berharap pemerintah segera memberlakukan safeguard di industri garmen agar pasar dalam negeri terproteksi. “Safeguards ini sangat penting diberlakukan, agar harga produk-produk impor jadi tidak terlalu murah, sehingga konsumen bisa beralih ke produk dalam negeri,” kata dia.
Menurut dia, kunci pemulihan industri tekstil bergantung pada kesiapan pasar terhadap produk yang tersedia. Selain itu, daya beli masyarakat juga menjadi faktor pendorong bangkitnya pasar tekstil dalam negeri.
Ia juga mengatakan, kegiatan ekonomi bisa meningkat seiring berjalannya program vaksinasi. “Dengan vaksinasi ini kita berharap pergerakan ekonomi, pergerakan masyarakat dan pergerakan barang tidak lagi banyak terbatasi,” katanya.
Kementerian Perindustrian tengah mengusulkan sejumlah tarif safeguard untuk produk-produk garmen impor. Saat ini, usulan tersebut telah dikirim melalui Kementerian Perdagangan ke Kementerian Keuangan. “Masih ada satu tahapan lagi di Kementerian Keuangan, baru dapat ditetapkan oleh Menteri," kata Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki, Kementerian Perindustrian, Elis Masitoh di Jakarta, Senin (26/4) malam.
Elis menjelaskan, tarif safeguard yang diusulkan tersebut bervariasi untuk tiap jenis produk garmen. Misalnya, untuk atasan casual seperti kaus diusulkan tarif Rp 27 ribu untuk setiap produk impor yang masuk.
"Jadi, ketika ada atasan casual dari Tiongkok, sebut saja, masuk dengan harga Rp 20 ribu, dikenakan safeguard Rp 27 ribu, harga yang masuk ke Indonesia menjadi Rp 47 ribu," tuturnya. Dengan demikian, ia berharap industri dalam negeri mampu memproduksi jenis pakaian serupa dengan harga yang lebih kompetitif.