Peluang UUCK Perkuat Pembenahan Tata Kelola Sawit

ANTARA FOTO/Akbar Tado/rwa.
Penulis: Arofatin Maulina Ulfa - Tim Publikasi Katadata
24/9/2021, 12.42 WIB

UU Cipta Kerja (UUCK) berpeluang memperkuat pembenahan sektor sawit. Per 19 September 2021, masa berlaku moratorium sawit berakhir. Sebelumnya, pemerintah mengatur moratorium sawit melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2018.

Inpres 8/2018 setidaknya memiliki tiga substansi penting, Pertama,  penundaan perizinan perkebunan kelapa sawit untuk sementara waktu. Kedua, evaluasi perizinan kelapa sawit. Ketiga, peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.

Dalam 3 tahun implementasinya, pemerintah telah menyelaraskan data terkait tutupan dan luas izin sawit. Aturan ini tertuang dalam Kepmentan Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019.

Namun, indikator keberhasilan pelaksanaan inpres ini tidak terbatas pada minimnya penerbitan izin baru. Inpres ini diharapkan dapat menyelesaikan persoalan produktivitas, keberterimaan pasar, deforestasi, kepastian hukum petani sawit serta tumpang tindih dan konflik penggunaan lahan.

Yayasan Madani Berkelanjutan menilai, terdapat beberapa persoalan tata kelola sawit yang harus dibenahi. Beberapa di antaranya sengkarut perizinan, perkebunan tanpa izin, legalitas lahan dan kebun petani, subsidi tak tepat sasaran, minimnya prioritas anggaran bagi kesejahteraan petani, hingga ketimpangan alokasi anggaran pusat-daerah.

Menurut catatan Yayasan Madani Berkelanjutan, terdapat 1.053 konflik di perkebunan sawit pada 2020. Terkait peizinan terdapat 8,4 juta tutupan sawit dengan izin yang belum terdata.

Dalam laporan yang disusun Strengthening Palm Oil Sustainability in Indonesia (SPOSI), rendahnya capaian implementasi dari Inpres 8/2018 bukan tanpa sebab. Kekosongan hukum dan belum adanya dukungan regulasi yang kuat serta kebijakan teknis untuk melaksanakan aturan tersebut, diduga menjadi salah satu penyebab utama.

Terdapat beberapa persoalan hukum yang menjadi batu sandungan implementasi moratorium sawit. Di antaranya, absennya penyelesaian hukum terkait tumpang tindih antara kebijakan penunjukan kawasan hutan dan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota (RTRWP/K).

Tumpang tindih ini disinyalir menjadi sumber utama terbitnya izin Hak Guna Usaha (HGU) dan perizinan perkebunan kelapa sawit bermasalah. Adapun persoalan lain yang dihadapi juga terkait ketidakjelasan hukum keterlanjuran, pelanggaran, dan ganti rugi terkait perkebunan sawit yang menyasar kawasan hutan.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terdapat 3,37 juta hektare kebun sawit berada dalam kawasan hutan dan 2,61 juta hektare di antaranya belum melalui proses pelepasan kawasan hutan.

Ruandha Agung Sugardiman, selaku Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK mengaku pihaknya saat ini telah melakukan identifikasi perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan. Terdapat 761.615 hektar lahan perkebunan di antaranya sedang melalui proses permohonan pelepasan lahan.

“Kami sedang berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian, Kementerian ATR/BPN, dan juga Kementerian Koordinator Perekonomian untuk menyelesaikan persoalan terkait ini,” ujar Ruandha dalam webinar Katadata berjudul Moratorium Sawit: Bagaimana Setelah Tenggat 3 Tahun?, (23 September 2021).

Ruandha mengakui terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi pemerintah terkait hal tersebut, di antaranya lemahnya integrasi data luas tutupan sawit yang berada di kawasan hutan.

“Awalnya kami sulit menemukan angka luasan lahan karena kami antar lembaga memiliki definisi masing-masing terkait perkebunan sawit yang terdapat di kawasan hutan,” imbuhnya.

Namun, Direktur Program SPOS Indonesia, Irfan Bakhtiar mengatakan, semua lahan sawit yang tengah diproses keterlanjuran tersebut merupakan bagian dari lahan perusahaan. Sementara menurut pengamatan satelit yang dilakukan SPOS Indonesia dan mitra-mitranya, jumlah kebun rakyat di kawasan hutan yang memiliki luasan tidak lebih dari 25 hektar berjumlah 788 ribu hektar.

“Apakah data sawit rakyat di kawasan hutan itu sudah ada? Saya rasa itu belum ada data sawit rakyat di Kawasan hutan,” tandas Irfan.

Hal tersebut ditanggapi oleh Ruandha bahwa saat ini pihaknya tidak memiliki data detail terkait kategorisasi kepemilikan lahan sawit di kawasan hutan,

“Makanya kami sedang berupaya melakukan koordinasi dan integrasi dengan stakeholder yang berkepentingan terkait dengan data-data yang diperlukan,” ujarnya.

 

Peluang UUCK Perkuat Pembenahan Tata Kelola Sawit (Katadata)

Peluang Penguatan Hukum Melalui UU CK

Di sisi lain, terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) beserta peraturan turunannya menjadi peluang bagi perbaikan tata kelola sawit sekaligus dapat mendukung perpanjangan program moratorium sawit.

Menurut Irfan, UU CK memiliki banyak catatan namun memiliki peluang untuk diterapkan dalam mendukung moratorium sawit ke depan.

“Persoalan bagaimana memastikan mekanisme itu dijalankan. Harus ada upaya yang extraordinary. Maka adanya inpres khusus masih diperlukan,”katanya.

Dalam UU CK, terdapat dukungan regulasi yang kuat dalam penyelesaian tumpang tindih kebijakan penunjukan kawasan hutan dan RTRWP/K. Di antaranya melalui PP No. 43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin dan/atau Hak Atas Tanah.

Regulasi tersebut kini sudah ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Pemutakhiran dan Penetapan Peta Indikatif Tumpang Tindih Pemanfaatan Ruang.

Selain itu, juga terdapat dukungan penyelesaian kasus keterlanjuran dan pelanggaran melalui pengenaan PNBP, DR, dan sanksi administratif. Adapun beberapa sanksi yang diberikan berupa penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif, hingga pencabutan perizinan berusaha.  Beberapa peraturan turunan UU CK di antaranya:

1. PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

2. PP 24/2021 tentang Tata cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal Dari Denda Administratif Bidang Kehutanan

3. PermenLHK No. 7,8,9/2021

Sementara terkait evaluasi kesesuaian antara HGU perkebunan kelapa sawit dengan peruntukan tata ruang, terdapat dukungan melalui PP No.43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin dan/atau Hak Atas Tanah. 

Berbagai aturan turunan UU CK ini diharapkan mampu memperkuat posisi Inpres 8/2018 ke depan. Oleh karenanya, Irfan menyebutkan program moratorim sawit masih perlu untuk dilanjutkan untuk mengatasi persoalan tersebut.

“Moratorium sawit perlu dilanjutkan agar seluruh pihak terkait dapat berfokus untuk membenahi tata kelola sawit saat ini termasuk tumpang tindih data dan dukungan terhadap petani rakyat,” imbuh Irfan.

Sementara itu, Kasdi Subagyono, selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian menyatakan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi solusi utama pemerintah dalam mendukung program moratorium sawit ke depan.

Kasdi menambahkan, jika program PSR berjalan dengan maksimal, maka dengan meningkatkan produktivitas hasilnya akan setara dengan hasil dari perluasan lahan.

“Jika moratorium ini terus berjalan, maka solusi kami untuk tetap menjaga produksi CPO adalah dengan intensifikasi melalui PSR. Dengan mengganti bibit dengan kualitas yang bagus dapat meningkatkan produksi 5 hingga 6 ton setara CPO” pungkas Kasdi.

Di sisi lain, Pahala Sibuea, Ketua Umum Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI) menyatakan moratorium sawit masih menjadi aturan yang penting bagi masa depan petani sawit berkelanjutan Tanah Air.

Pahala menyebutkan moratorium sawit selama 3 tahun ini memiliki beberapa manfaat. Di antaranya terpotretnya luas area tutupan sawit di Indonesia, meskipun belum sepenuhnya terverifikasi, terpotretnya pemetaan perkebunan dalam kawasan hutan, terjaganya kesinambungan supply-demand sawit dan jaminan daya saing produk sawit.

Menurutnya, moratorium sawit juga memberi kepastian bagi perusahaan untuk menjalin kemitraan berkelanjutan dengan petani rakyat, hingga memberikan momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sawit Indonesia secara menyeluruh.

Ia mengimbau berbagai stakeholder terkait mampu berkoordinasi dengan maksimal untuk memperbaiki tata kelola persawitan di Indonesia.

“Moratorium sawit baiknya diperpanjang dengan skema yang lebih baik lagi. Sampai kapan moratorium sawit di berlakukan, ya sampai tata Kelola perkebunan sawit di Indonesia lebih baik,” pungkas Pahala dalam forum yang sama.