Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah mengintegrasikan perusahaan-perusahaan BUMN yang bergerak di bidang kesehatan.
Di bawah naungan klaster kesehatan, perusahaan-perusahaan itu saling bersinergi untuk memperkuat kemandirian dan ketahanan industri health care di Indonesia.
Konsolidasi ini dipimpin oleh PT Bio Farma. Sementara anggota klaster terdiri atas PT Kimia Farma Tbk., PT Indonesia Farma Tbk. (Indofarma) dan Indonesia Healthcare Corporation (IHC) yang merupakan gabungan dari sejumlah rumah sakit milik BUMN.
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, pembetukan klaster kesehatan ini bertujuan untuk membentuk ekosistem di bidang kesehatan. “Ekosistem ini menjadi kunci. Kalau berdiri sendiri-sendiri, akhirnya tentu kita (Indonesia) tidak punya kekuatan terpadu untuk menahan ‘gelombang’ yang terjadi ke depannya,” kata Erick dalam keterangan tertulis, Senin (27/12/2021).
Sebagai perusahaan induk di bidang kesehatan, Bio Farma diharapkan mampu membuka peluang baru, terutama dalam industri vaksinasi. Bio Farma pun menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan vaksin mRNA atau protein rekombinan.
Uji klinis vaksin produksi Bio Farma telah dilakukan pada Desember 2021. Dengan uji klinis tersebut, Erick berharap tahun ini dan seterusnya, Indonesia mampu memproduksi vaksin dengan lebih mandiri, yakni dengan mengurangi impor vaksin.
Bahkan, pada 9 Juni lalu di Universitas Dipenogoro Semarang, Bio Farma telah melakukan kick off pelaksanaan uji klinis tahap 3 pengembangan vaksin BUMN untuk pencegahan Covid-19.
Vaksin BUMN merupakan hasil kolaborasi global antara Bio Farma bersama Baylor College of Medicine, USA yang sudah terdaftar di tahap pengembangan kandidat vaksin WHO Covid-19 sejak Juni 2021.
Pelaksanaan uji Klinis Fase 3 ini, dilakukan setelah Bio Farma mendapatkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) untuk Uji Klinis Fase 3 dari Badan POM pada 6 Juni 2022.
Sementara itu, Indofarma fokus pada industri herbal. Strategi ini juga menjadi upaya untuk menekan impor bahan baku obat.
Menurut Erick, dengan kekayaaan alam dan budaya masyarakat yang erat dengan pengobatan herbal, industri ini akan mampu tumbuh positif.
“Indonesia memiliki alam dan kultur yang mumpuni dalam mengembangkan industri tersebut (industri herbal, Red),” ujar Erick.
Adapun lini usaha Kimia Farma bakal difokuskan pada pengembangan obat-obat generik demi memperluas akses masyarakat terhadap obat murah.
Erick menargetkan, dalam empat tahun ke depan, Indonesia dapat menekan impor bahan baku obat yang pada 2021 mencapai 95 persen menjadi 75 persen.
Hal ini diamini Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dilansir dari Republika.co.id, Jokowi mengutarakan keinginannya agar Indonesia sedapat mungkin mengurangi, bahkan menghentikan impor.
“Alat-alat kesehatan, obat-obatan, bahan baku obat, kita harus berhenti untuk mengimpor barang-barang itu lagi. Kita produksi sendiri di negara sendiri,” ujarnya.
Dilansir dari Antara, Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai upaya produksi bahan baku obat oleh BUMN memang tepat. “Keberadaan pabrik bahan baku obat sangat penting dalam ekosistem ketahanan kesehatan,” kata dia.
Menurut Toto, ide swasembada bahan baku obat sudah digaungkan cukup lama, terutama setelah pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada 2020.
Saat itulah, pemerintah semakin menyadari bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku obat mencitrakan ketahanan sektor kesehatan nasional yang sangat rapuh.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aria Bima juga mendorong BUMN farmasi untuk menjadi pemimpin dalam produksi obat-obatan penting yang dikonsumsi masyarakat Indonesia.
BUMN farmasi juga diharapkan memperhatikan regulasi terkait tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Komisi VI DPR juga meminta BUMN untuk melakukan penataan peta jalan strategis dengan mengedepankan sinergisitas antaranak perusahaan BUMN farmasi, dalam rangka memperluas pangsa pasar secara nasional, regional maupun global.
Selain itu, BUMN di bidang kesehatan juga harus memperluas akses pelayanan kesehatan masyarakat melalui berbagai kanal layanan kesehatan, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Pada saat yang sama, BUMN juga harus mampu meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan.
Dari sisi kinerja keuangan, BUMN klaster kesehatan mencatat pertumbuhan laba yang positif. Bio Farma mengantongi laba bersih Rp1,93 triliun sepanjang 2021 atau tumbuh 567,89 persen dibandingkan kinerja pada 2020.
Sementara Kimia Farma mendapatkan laba Rp302 miliar padaI 2021, jauh lebih tinggi dibandingi 2020 sebesar Rp17,6 miliar.
Kemudian IHC, dari yang labanya hanya Rp170 miliar pada kuartal III-2020, pada kuartal III-2021 berhasil meraih laba Rp 606 miliar atau naik 71,95 persen.
Adapun Indofarma sepanjang 2021 masih mengantongi kerugian bersih Rp 37,58 miliar. Padahal pada 2020, emiten berkode INAF ini masih mencetak laba Rp27,58 juta.
(Tim Riset Katadata)