Pengusaha Sepatu PHK 25.700 Pegawai, Termasuk Nike dan Adidas?

ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc.
Seorang pekerja mengecek sepatu lokal yang telah jadi di Pabrik Sepatu Aerostreet, Wonosari, Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (17/4/2021).
Penulis: Nadya Zahira
16/11/2022, 21.07 WIB

Asosiasi Persepatuan Indonesia atau Aprisindo mencatat, industri melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 25.700 pekerja. Merek Nike, Adidas, dan Reebok juga mengeluhkan ekspor yang lesu.

Ketua Umum Aprisindo Eddy Widjanarko mengatakan, jumlah pegawai yang di-PHK tersebut porsinya 10% dari total. Ia memprediksi jumlahnya bertambah ke depan.

Ia juga bercerita, dirinya bertemu dengan merek Nike, Adidas, dan Reebok. Ketiganya mengatakan bahwa mereka tidak pernah merasakan kesulitan penjualan selama 30 tahun berbisnis.

Mereka tidak pernah menurunkan order di bawah 10% selama 30 tahun terakhir. Justru mereka menaikkan order 10% - 20%, atau bahkan 30% per tahun.

Tetapi tahun ini, Nike, Adidas, dan Reebok mengaku kesulitan menjalankan bisnis. Bahkan, mereka terpaksa menurunkan 50% pesanan.

“Stoknya sedemikian besar, tetapi tidak terjual,” ujar Eddy dalam konferensi pers virtual, Rabu (16/11).

Namun Eddy tak memerinci apakah Nike, Adidas, dan Reebok termasuk yang melakukan PHK atau tidak.

Dia hanya menjelaskan bahwa kesulitan juga dialami oleh pengekspor alas kaki di negara lain, seperti Vietnam dan Cina. Bahkan pelaku usaha di kedua negara ini mengajukan izin kepada pemerintah untuk mengurangi jam kerja dari 40 jam menjadi 25 - 30 jam per minggu.

“Itu sebetulnya sudah kami lakukan berbulan-bulan lalu. Kami ingin memberikan kepada pemerintah jalan keluar, bagaimana kalau bisa, kami hanya menggaji berdasarkan pro rata jam kerja,” ujar dia.

“Dalam artian, kami ingin meminta kelonggaran untuk mengurangi jam kerja supaya tidak PHK. Tapi dalam perkembangan itu, tidak bisa karena ini kan jalan terus,” tambah Eddy.

Menurutnya, karyawan kini hanya bekerja setengah hariatau 70%. Hal ini karena sepi order.

Ia merasa pengusaha sepatu menghadapi dilema yakni perlu melakukan efisiensi, termasuk PHK. Tetapi di sisi lain, mereka akan membutuhkan pekerja jika permintaan naik. “Kalau rekrut, harus memberikan pelatihan dan sebagainya lagi,” ujarnya.

Eddy juga menyatakan tidak setuju jika pemerintah mengubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021 tentang Tunjangan Hari Raya (THR). Dia berharap pemerintah mengkaji dampaknya dengan saksama.

“Sekarang ini justru subsidi, karena bagaimanapun memikirkan agar masa depan baik. Kalau memang seperti ini, bukan hanya PHK. Mungkin pabrik-pabrik akan tutup,” ujarnya.

Reporter: Nadya Zahira