Mengapa Indofood hingga Wilmar Terancam Kehabisan Bahan Baku Terigu?

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Ilustrasi. Terigu menjadi bahan baku banyak produk olahan pangan. Namun, produksi terigu nasional kini terancam akibat sulitnya impor salah satu bahan bakunya.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
18/4/2024, 07.59 WIB

Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia atau Aptindo memperingatkan, para produsen tepung terigu,  Indofood hingga Wilmar tengah menghadapi ancaman kehabisan bahan baku tepung terigu. Produksi terigu di dalam negeri terancam terhenti pada akhir paruh pertama tahun ini. 

Berdasarkan data Aptindo, lima dari tujuh produsen tepung terigu nasional akan kehabisan Premiks Fortikan pada Mei 2024. Kelima produsen tersebut adalah PT  Sriboga Flour Mills, Cerestar Group, Wilmar Group, PT Eastern Pearl Flour Mills, dan PT Golden Gran Mills.

PT Indofood Sukses Makmur Tbk bahkan dijadwalkan kehabisan Premiks Fortikan pada bulan ini, sedangkan PT Bungasari Flour Mills akan kehabisan Premiks Fortikan pada Juni 2024.

Mengapa para produsen hampir kehabisan bahan baku terigu?

Ketua Umum Aptindo Franciscus Welirang menjelaskan, Permendag Nomor 36 tahun 2023 mempersulit pengusaha untuk mengimpor Premiks Fortikan yang merupakan salah satu bahan baku terigu. Premiks Fortikan adalah bahan yang memberikan zat gizi mikro pada tepung terigu.

 "Sesuai dengan Permendag Nomor 36 Tahun 2023 dan Permendag Nomor 3 Tahun 2024,  impor premixed fortifikan harus mendapatkan PI (Persetujuan Import) dan LS (Laporan Surveyor). Namun pada prakteknya, peraturan teknisnya saja saja belum ada," ujar Franciscus kepada Katadata.co.id, Kamis (18/4). 

Ia menjelaskan, Premiks Fortikan adalah bahan baku yang sangat penting dalam pembuatan tepung terigu. Ini karena bahan baku tersebut menentukan apakah tepung terigu yang diproduksi sesuai dengan Standar Nasional Indonesia atau SNI. 

Menurut dia, pemerintah telah mewajibkan terigu memiliki gizi nutrisi sejak tahun 2000. Kebijakan ini penting dalam upaya pemerintah untuk mencegah stunting. Namun, syarat tersebut hanya dapat dipenuhi dengan menambah Premiks Fortikan dalam pembuatan terigu. 

"Pilihan Produsen hanya dua, yaitu, menghentikan produksi terigu pada saat premix fortikan habis atau terus memproduksi terigu tanpa Premixed fortifikan yang berarti melanggar SNI," ujar dia. 

Franciscus menjelaskan, zat gizi mikro dalam tepung terigu merupakan upaya pemenuhan hak-hak konsumen oleh produsen. Selain itu, Franciscus berpendapat hilangnya Premiks Fortifikasi dalam tepung terigu dapat berimbas besar pada turunnya beberapa zat gizi di masyarakat, seperti besi, zink, asam folat, dan beberapa jenis vitamin B.

Ia memperkirakan, produksi tepung terigu nasional akan berkurang lebih dari 50% jika belum ada solusi pengadaan Premiks Fortifikan. 

Produsen kemungkinan enggan melanggar ketentuan SNI. Sesuai dengan ketentuan, produsen yang melanggar SNI terancam  pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 35 miliar. 

Franciscus mengaku telah menyurati Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perdagangan agar mengecualikan Premiks Fotrikan dari daftar larangan terbatas. Dalam surat tersebut, Franciscus juga meminta penjelasan kenapa importasi Premiks Fortikan harus memiliki Perizinan Impor yang sebelumnya hanya memerlukan Laporan Surveyor.

"Sudah hampir dua bulan belum ada balasan. Kami belum pernah mendapatkan arahan yang jelas dan pasti. Kami tidak mungkin memasarkan tepung terigu ke masyarakat tanpa adanya Premiks Fortifikasi," katanya. 

Pemerintah pada Rabu (16/4) akhirnya menggelar rapat, salah satunya untuk membahas permintaan tersebut "Prinsipnya kami setuju dan kita tindaklanjuti usulan tersebut. Nanti kami masukkan dalam revisi Permendag 36, saat ini kami sedang menyusun revisi Permendag 36 Tahun 2023," ujar Direktur Impor Kemendag Arif Sulistiyo kepada Katadata.co.id pada Rabu (17/4).