Kondisi industri timah saat ini sedang tidak baik-baik saja. Ada dua sebab utamanya, yaitu terganjalnya persetujuan rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) dan kasus korupsi timah yang sedang berjalan di Kejaksaan Agung.
“Indonesia saat ini sedang menurun ekspor timahnya karena pengaruh kasus dan pengetatan persetujuan RKAB yang membuat banyak perusahaan timah stuck untuk pengajuan izinnya,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Harwendro Adityo Dewanto kepada Katadata.co.id pada Selasa (23/4).
Keadaan tersebut lalu diperparah dengan penyitaan beberapa pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) yang terkait kasus korupsi. Beberapa pabrik terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan.
“Banyak smelter disita Kejaksaan Agung. Perusahaan ini memiliki jumlah karyawan hingga ribuan karena smelter besar dan existing cukup lama," ujar pria yang akrab disapa Didit itu.
Seluruh masalah itu membuat kinerja ekspor timah anjlok. Padahal, Indonesia merupakan produsen timah terbesar kedua di dunia dan permintaan produk tambang itu sedang tinggi secara global. "Saat ini dunia membutuhkan timah kita (Indonesia)," kata Didit.
Gangguan pasokan timah global tak hanya karena Indonesia. Myanmar, salah satu produsen, juga sedang menghadapi masalah produksi karena terjadi perang saudara. Kondisi ini membuat stok timah dunia semakin menipis.
Berdasarkan data situs WestMetall, harga timah naik 37,56% per 22 April lalu dibandingkan awal tahun. Angkanya menyentuh US$ 34.975 per ton. Level tertinggi komoditas ini selama 2024 pada US$ 35.325 per ton yang terjadi pada 19 April 2024.
Harga rata-rata sepanjang tahun ini adalah US$ 27,4 ribu per ton periode data Januari-April 2024. Harga ini naik 5,64% atau terjadi kenaikan US$ 1.461,87 per ton dari harga rata-rata tahun sebelumnya.