Badai Industri Tekstil, Pengusaha Konveksi Minta Ada RUU Khusus

ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/hp.
Ilustrasi. Pemerintah berencana menyiapkan karpet merah ke dalam negeri bagi dua pabrik tekstil asal Cina.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
27/6/2024, 15.06 WIB

Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya atau IPKB mendorong pemerintah untuk membentuk lembaga khusus tekstil di dalam negeri melalui penerbitan Undang-Undang Tekstil. Hal tersebut dinilai penting sebab total tenaga kerja di industri tekstil mencapai 9 juta orang.

Ketua Umum IPKB Nandi Herdiaman mengatakan industri tekstil sejauh ini hanya ditangani oleh pejabat setingkat direktur, yakni Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian. Nandi menilai hal tersebut tidak seimbang dengan kontribusi industri tekstil ke perekonomian negara.

"Ada 9 juta orang yang bergantung pada industri tekstil, selain itu kami juga penyumbang devisa negara," kata Nandi di Jakarta Pusat, Kamis (27/6).

Badan Pusat Statistik mendata, kontribusi industri tekstil dan pakaian jadi ke pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun ini mencapai 2,64%. Nandi menilai, pembentukan aturan dan lembaga khusus tekstil menjadi penting lantaran akan ada dua investasi tekstil besar asal Cina yang akan masuk.

Ia mengaku menyambut inisiasi tersebut lantaran dapat menggenjot penyerapan tenaga kerja di bidang tekstil.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berencana menyiapkan karpet merah ke dalam negeri bagi dua pabrik tekstil asal Cina. Kedua pabrikan tersebut merupakan pabrik yang memproduksi garmen untuk beberapa merek ternama, seperti Nike, Adidas, Puma, hingga Uniqlo.

Total tenaga kerja yang dapat diserap dari dua investasi pabrik tekstil tersebut mencapai 108.000 orang dan akan berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah. Adapun kedua pabrik tekstil asal Negeri Panda menargetkan nilai ekspor tekstil hingga US$ 18 miliar.

"Kalau dua pabrik tekstil asal Cina beroperasi di sini bagus, karena dapat bersaing dengan kami dan menciptakan lapangan kerja. Namun pabrikan tersebut harus mengikuti aturan di dalam negeri," katanya.

Dua pabrik tekstil asal Negeri Panda akan berorientasi ekspor, sedangkan IKM konveksi tekstil umumnya berorientasi pasar domestik. Walau demikian, Nandi menekankan IKM konveksi tekstil dapat bersaing dengan dua pabrikan Cina tersebut.

Menurutnya, pasar konveksi nasional selama ini ditopang oleh IKM konveksi tekstil, sementara itu obarikan tekstil besar umumnya menyasar pasar ekspor. Oleh karena itu, Nandi mendorong pemerintah untuk memperbaiki tata niaga tekstil untuk menjaga pasar tekstil lokal.

"Kami siap bersaing dengan pabrik tekstil asal Cina sesuai dengan perilaku negara maju, cuman aturan tata niaga tekstil di dalam negeri harus diperbaiki," katanya.

Nandi mendata, sekitar 70% atau 5.600 unit Industri Kecil dan Menengah konveksi tekstil telah menghentikan produksi hingga saat ini. Angka tersebut diproyeksi berlanjut jika Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 Tahun 2024 tidak direvisi selambatnya pekan ini.

Ia mengatakan, sebagian IKM konveksi tekstil yang menghentikan produksi telah gulung tikar dan menjual mesin produksinya. Dengan demikian, Nandi mencatat jutaan lapangan kerja di IKM konveksi tekstil terancam oleh Permendag No. 8 Tahun 2024.

"Sebagian IKM konveksi yang menghentikan produksi telah menjual mesin produksi, tapi mayoritas masih bertahan. IKM yang menghentikan produksi akan menjual mesin kalau tidak dilindungi pemerintah," kata Nandi di Jakarta Pusat, Kamis (27/6).

Nandi menduga IKM yang menjual mesin produksinya akan beralih menjadi pedagang yang menjual tekstil impor. Sebab, pebisnis akan memilih lapangan usaha yang lebih menguntungkan. Dalam hal ini, produk tekstil lokal tidak bisa bersaing dengan tekstil impor akibat dugaan praktek dumping.

Praktek dumping adalah menurunkan harga jual dengan bantuan pemerintah untuk meningkatkan pangsa pasar di negara tujuan ekspor. Oleh karena itu, Nandi mendorong pemerintah menerapkan kuota impor bagi produk tekstil.



Reporter: Andi M. Arief