PT Kalimantan Ferro Industry menyatakan bahwa masih mengimpor nikel dari Filipina untuk operasional fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di Kalimantan Timur. Hal ini disebabkan oleh terkendalanya pasokan nikel ore dalam negeri.
“Kami harus mengambil dari Filipina karena beberapa tambang pemasok belum mendapatkan persetujuan RKAB sehingga kami tidak bisa membeli nikel mereka,” kata Owner Representative PT KFI Ardhi Soemargo dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi VII DPR RI pada Senin (8/7).
Ardhi memastikan, sebelum terkendala rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) seluruh pasokan nikel yang dikelola smelter PT KFI 100% nikel orenya dipasok dari Indonesia. Namun karena kondisi pemasok yang tidak dapat menjual nikel mereka sehingga PT KFI terpaksa membeli nikel dari Filipina.
“Di belakang kami ada 1.400 orang pekerja sehingga kami tidak boleh menutup atau menurunkan kegiatan agar pabrik kami terus berjalan,” ujarnya.
Ardhi menyebut, hingga saat ini PT KFI baru mengimpor satu kapal vessel yang memuat 51.000 ton nikel. “Impor ini hanya digunakan untuk membantu kondisi kami yang saat ini kekurangan pasokan,” ucapnya.
Meskipun PT KFI tidak memiliki konsesi tambang dan hanya memiliki smelter saja, namun Ardhi mengatakan pihaknya tetap terdampak dari persetujuan RKAB yang belum didapatkan.
“Kami mengambil semua nikel dari trader, jika perusahaan belum mendapatkan RKAB maka trader tidak dapat menjual nikelnya kepada kami,” kata dia.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan bahwa polemik persetujuan RKAB dapat menurunkan pendapatan negara. Padahal, DPR telah berusaha mengubah ketentuan RKAB dari yang awalnya diajukan setiap tahun kemudian mekanismenya diubah menjadi tiga tahun sekali.
“Meski sudah diubah ternyata tetap saja ada masalah, yang akibatnya perusahaan membeli dari luar negeri. Ini mengganggu aspek devisa kita, menjadi boros,” kata Mulyanto.