Nike Inc menilai perlu ada kebijakan yang mendorong industri tekstil dan produk tekstil untuk mengadopsi praktek produksi yang lebih berkelanjutan. Ini karena biaya implementasi praktek berkelanjutan di dalam negeri masih belum ekonomis.

Southeast Asia Head of Government and Public Policy Affairs Nike Inc Devi Kusumaningtyas,  menjelaskan preferensi konsumen saat ini masih condong ke arah kualitas daripada praktek berkelanjutan. Oleh karena itu, menurut dia, menyampaikan hanya kebijakan pemerintah yang mampu mendorong industri TPT mengadopsi praktik keberlanjutan.

"Praktek keberlanjutan saat ini hanya dapat didorong dari dua sisi, yakni dari internal masing-masing pabrikan dan kebijakan pemerintah. Regulasi pemerintah itu lebih berperan dalam adopsi praktek keberlanjutan dibandingkan permintaan konsumen," kata Devi kepada Katadata.co.id, Jumat (6/9).

Devi menilai, dorongan kebijakan tersebut penting dilakukan pemerintah Indonesia. Ini karena mayoritas produksi Nike ada di Asia Tenggara dan 30% dari total volume produksi Nike secara global berasal dari Indonesia. 

Devi mencatat industri TPT berkontribusi hingga 10% dari total emisi karbon secara global. Adapun 75% dari emisi karbon tersebut berasal dari aktivitas di sektor manufaktur.

Maka dari itu, Devi mengatakan penting bagi Nike untuk bertransisi ke praktek produksi yang lebih berkelanjutan. Namun demikian, praktek berkelanjutan kini masih tertempel stigma premium yang membuat biaya adopsi praktek berkelanjutan lebih tinggi.

Berdasarkan data Statista, mayoritas atau 99,25% emisi karbon yang dihasilkan Nike pada 2023 berasal dari lingkup ketiga. Dengan kata lain, mayoritas emisi karbon berasal dari mitra industri kecil dan menengah yang bermitra dengan Nike.

"Sekitar 50% dari rantai pasok di industri TPT berskala industri kecil dan menengah yang memproduksi kurang dari 1 juta lembar per tahun. Tentu saja dorongan kepada industri TPT adalah membuat bahan baku berkelanjutan tersedia banyak, dengan akses yang cukup, dan harga yang terjangkau," katanya.

Devi menilai, langkah tercepat yang dapat dilakukan pemerintah adalah membuat energi baru terbarukan sebagai sumber energi umum. Popularitas batu bara sebagai sumber energi saat ini masih tinggi akibat banyaknya subsidi di industri batu bara.

"Jadi, kami mendorong pemerintah agar adopsi praktek berkelanjutan masuk akal bagi kami di industri TPT," katanya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meyakini  super grid dapat mendukung peningkatan bauran EBT dari 20% pada 2024 menjadi 82 persen di tahun 2060. Pembangunan super grid dapat menjadi solusi ketidakseimbangan antara ketersediaan pasokan listrik energi baru terbarukan (EBT) dengan kebutuhan yang ada.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P Hutajulu sebelumnya menjelaskan, pengembangan supergrid di Indonesia terdiri dari interkoneksi dalam pulau dan antar pulau. Hal itu tercantum dalam peta jalan atau roadmap yang telah disusun pemerintah.  

"Pengembangan supergrid dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut dikarenakan manfaat yang dihasilkan berupa evakuasi sumber-sumber energi terbarukan kepada demand centre, peningkatan keandalan sistem, peningkatan bauran energi terbarukan ke dalam sistem, serta efisiensi Biaya Pokok Pembangkitan (BPP)," ujar Jisman dikutip dari keterangan pers, Rabu (4/9).

Ia menjelaskan, roadmap pengembangan supergrid di Indonesia terdiri dari interkoneksi dalam pulau dan antar pulau. Interkoneksi dalam pulau akan dilakukan dengan pengembangan backbone 500 kilovolt (kV) di Sumatera dan Kalimantan, serta 275 kV dan 150 kV interkoneksi Sulawesi.  

Interkoneksi luar pulau akan dibangun antara Sumatera- Batam, Sumatera-Jawa, Kalimantan-Jawa, Kalimantan Sulawesi, serta Jawa-Sumba.

Reporter: Andi M. Arief